Kamis, 17 Mei 2012

MAKALAH_PENGAWETAN IKAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain
sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. 
Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu dilakukan pengawetan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak.
Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan yang paling tua dan paling luas digunakan. Cara ini merupakan suatu proses yang ditiru dari alam. Pengawetan pangan dengan pengeringan dapat dilakukan pada semua biji-bijian serelia, dan proses alami tersebut sedemikian efisien sehingga hampir tidak memerlukan tenaga tambahan dari manusia. Ada periode-periode tertentu dalam sejarah dengan faktor iklim yang dapat menyebabkan biji-bijian tidak dapat kering sebagaimana mestinya. Dengan keadaan ini, orang berusaha untuk membantu kegiatan alami ini dengan menyediakan panas agar biji-bijian tersebut tidak rusak. Biji-bijian, leguminosa, kacang-kacangan dan buah-buahan tertentu matang di pohon dan mengering akibat angin dan panas.
1.2 Tujuan Penulisan
  • Untuk mengetahui pengertian pengeringan dan penggaraman
  • Untuk mengetahui proses dan prinsip pengawetan dan penggaraman
  • Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam pengeringan dan penggaraman
  • Untuk mengetahui tahapan dari proses pengeringan dan penggaraman
1.3 Rumusan masalah
  • Apa yang dimaksud dengan pengeringan dan penggaraman?
  • Bagaimana proses dan prinsip pengawetan dengan penggaraman ikan?
  • Apa saja metode yang digunakan dalam pengeringan dan penggaraman?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pengeringan dan Penggaraman
Pengeringan merupakan suatu proses metode pengawetan produk yang pertama dilakukan oleh manusia. Selama proses pengeringan, ikan akan mengalami pengurangan kadar air yang mengakibatkan proses metabolisme bakteri pembusuk dalam tubuh ikan menjadi terganggu. Sehingga proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat atau dihentikan.
Proses pengeringan disini dapat menggunakan sistem pengasapan dan pengovenan. Proses pengeringan dilakukan setelah proses penggaraman. Penggaraman adalah suatu proseskegiatan yang bertujuan untuk mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan garam. Kadar air yang dicapai kira-kira 25%-30% agar ikan hasil pengeringan dapat awet untuk disimpan. Hal yang harus dilakukan agar dapat menghasilkan ikan dengan kadar air 25%-30% yaitu jangan mengeringkan ikan secara utuh tetapi belah ikan dengan modelbutterfly (belah jadi 2) dengan ketebalan 3 cm lalu dikeringkan pada suhu maksimal 45 derajat dengan kecepatan angin 1-2 m per detik selama 8-12 jam
Alat-alat yang dibutuhkan untuk proses pengeringan tidak terlalu rumit. Alat-alat tersebut berupa kompor berbahan bakar minyak tanah atau batu bara dan rak pengering dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dapat juga dibuat sendiri dengan ukuran yang dibutuhkan. Selain beberapa alat yang telah disebutkan tadi ada juga alat yang lebih modern dan canggih yaitu pengering yang dilengkapi dengan sel penangkap sinar matahari.

2.2 Metode Penggaraman/pengasinan dan pengeringan
Pada dasarnya, metode penggaraman ikan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu penggaraman kering (Dry Salting), penggraman basah (WetSalting) dan Kench Salting.

a)        Penggaraman Kering (Dry Salting)
Metode penggaraman kering menggunakan kristal garam yang dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya, ikan yang berukuran besar dibuang isi perut dan badannya dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan ditempatkan didalam wadah yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demi selapis dengan setiap lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan paling bawah wadah merupakan lapisan garam.
Garam yang digunakan pada proses penggaraman umumnya berjumlah 10 % - 35 % dari berat ikan yangdigarami. Pada waktu ikan bersentuhan dengan kulit / daging ikan (yang basah/berair), garam itu mula-mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akan meresap kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidak langsung menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan.
b)       Penggaraman Basah (Wet Salting)
     Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30 - 35 % (dalam 1liter air terdapat 30 – 35 gram garam). Ikan yang akan digaramidimasukkan kedalam larutan garam tersebut, kemudian bagian atas wadah ditutup dan diberi pemberat agar semua ikan terendam. Lama waktu perendaman tergantung pada ukuran ketebalan tubuh ikan dan derajat keasinan yang diinginkan.
Dalam proses osmosa, kepekatan larutan garam akan semakin berkurang karena adanya kandungan air yang keluar dari tubuh ikan, sementara itu molekul garam masuk kedalam tubuh ikan. Proses osmosa akan berhenti apabila kepekatan larutan diluar dan didalam tubuh ikan sudah seimbang.
c) Kench Salting
Pada dasarnya, teknik penggaraman ini sama dengan pengaraman kering (dry salting) tetapi tidak mengunakan bak /wadah penyimpanan. Ikan dicampur dengan garam dan dibiarkan diataslantai atau geladak kapal, larutan air yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Kelemahan dari cara ini adalah memerlukanjumlah garam yang lebih banyak dan proses penggaramanberlangsung sangat lambat.
Ada dua metode pengeringan yang biasa dilakukan yaitu : Pengeringan alami dan pengeringan mekanis. Keuntungan pengeringan alami antara lain adalah tidak memerlukan peralatan dan keterampilan khusus tetapi memiliki kelemahan yaitu membutuhkan tempat yang luas serta waktu pengeringan (suhu) sulit dikendalikan.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1  Penggaraman  dan Pengasinan Ikan
a)      Persiapan
1)      Penyediaan bahan baku.
o   Ikan yang akan diproses sebaiknya dipisahkan berdasarkan jenis, tingkat kesegaran dan ukuran ikannya. Hal ini dilakukan untuk penyeragaman penetrasi garam pada saat penggaramanberlangsung
o   Sediakan garam sebanyak 10 – 35 % dari berat total ikan yang akan diproses, tergantung tingkat keasinan yang diinginkan. Sebaiknya, gunakan garam murni (NaCl 99%) agar ikan asin berkualitas baik.

[1.JPG]
2)      Penyediaan peralatan
o   Siapkan wadah bak kedap air yang terbuat dari semen, kayu, fiber atau plastik. Bila proses penggaraman menggunakan metode kench salting, wadah bak penggaraman tidak diperlukan- Siapkan penutup bak sesuai ukuran bak dilengkapi dengan pemberat untuk membantu agar semua ikan terendam dalam larutan garam
o   Pisau atau golok yang tajam untuk membersihkan dan menyiangi ikan
o   Timbangan untuk menimbang ikan yang telah dibersihkan serta jumlah garam yang dibutuhkan
o   Keranjang plastik atau bambu untuk mengangkut ikan sebelum dan setelah proses penggaraman
o   Tempat penjemuran atau para-para yang tingginya kurang lebih 1 meter diatas permukaan tanah. Sebaiknya para-para dibuat miring 15 derajat ke arah datangnya angin untuk mempercepat proses pengeringan.

3)      Penanganan dan penyiangan
o   Untuk mempermudah proses penanganan, tempatkan ikan diwadah terpisah sesuai ukuran, jenis dan tingkat kesegaran
o   Pada ikan berukuran besar, perlu dilakukan penyiangan dengan membuang isi perut, insang dan sisik. Kemudian tubuh ikan dibelah menjadi dua sepanjang garis punggung kearah perut. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses penggaraman
o   Pada ikan yang berukuran sedang, cukup dibersihkan insang, sisik dan isi perut.Bagian badan tidak perlu dibelah.
o   Pada ikan kecil seperti teri atau petek, cukup dicuci dengan air bersih saja, tidak perlu disiangi.
o   Proses pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengalir, agar ikan benar-benar bersih
o   Tiriskan ikan yang telah dicuci bersih dalam wadah keranjang plastik atau bambu yang telah disediakan. Pada proses penirisan ini, ikan disusun rapi dengan perut menghadap ke bawah agar tidak ada air yang menggenang dirongga perutnya
o   Setelah ikan agak kering, timbanglah ikan agar dapat mengetahui jumlah garam yang diperlukan dalam proses penggaraman

b)     Tahapan proses penggaraman
     Pada dasarnya metode penggaraman ikan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu penggaraman kering, penggaraman basah, dan penggaraman campuran.
1) Metode dry salting /Penggaraman kering
      Metode penggaraman kering menggunakan kristal garam yang dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya ikan-ikan yang besar dibuang isi perutnya terlebih dahulu dan bila perlu dibelah agar dagingnya menjadi tipis sehingga lebih mudah untuk ditembus oleh garam. Pada proses penggaraman, ikan ditempatkan di dalam wadah yang kedap air, misalnya bak dari kayu atau dari bata yang disemen. Ikan disusun selapis demi selapis di dalam wadah, diselingi dengan lapisan garam. Jumlah garam yang dipakai umumnya 10-35% dari berat ikan.
Prosesnya :
o   Taburkan garam ke dasar bak setebal 1 – 5 cm tergantung jumlah ikan yang diolah. Lapisan ini berfungsi sebagai alas ikan pada saatproses penggaraman
o   Susunlah ikan dengan rapi diatas lapisan garam tadi. Usahakan bagian perut ikan menghadap kebawah. Diatas lapisan ikan yang sudah tersusun, taburkan kembali garam secukupnya. Lakukan itusampai semua ikan tertampung didalam wadah, setiap lapisan ikan selalu diselingi oleh lapisan garam. Pada lapisan atas ditebarkan
o   Garam setebal 5 cm agar tidak dihinggapi lalat.
o   Tutuplah bak atau wadah dengan papan yang telah diberi pemberat agar proses penggaraman dapat berlangsung dengan baik. Ikan dengan tingkat keasinan tertentu dapat diperoleh sebagai hasil akhir proses penggaraman.
o   Selesainya proses penggaraman ditandai dengan adanya perubahan tekstur, daging ikan menjadi kencang dan padat. Lamanya penggaraman tergantung jenis, ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Walau demikian, umumnya proses penggaraman dapat berlangsung 1 – 3 hari untuk ikan ukuran besar, 12 – 24 jam untuk ikan ukuran sedang dan 6 – 12 jam untuk ikan ukuran kecil
o   Langkah selanjutnya, ikan diangkat dari tempat penggaraman. Ikan dicuci dan dibersihkan dari kotoran yang menempel.

2)   Penggaraman Basah (Wet Salting)
            Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter larutan garam berisi 30-50 kg garam). Ikan dimasukkan ke dalam larutan itu dan diberi pemberat agar semua ikan terendam, tidak ada yang terapung. Ikan direndam dalam jangka waktu tertentu tergantung pada :
a. Ukuran dan tebal ikan
b. Derajat keasinan yang diinginkan

     Di dalam proses osmosis, kepekatan makin lama makin berkurang karena air dari dalam daging ikan secara berangsur-angsur masuk ke dalam larutan garam, sementara sebagian molekul garam masuk ke dalam daging ikan. Karena kecenderungan penurunan kepekatan larutan garam itu, maka proses osmosis akan semakin lambat dan pada akhirnya berhenti. Larutan garam yang lewat jenuh yaitu jumlah garam lebih banyak dari jumlah yang dapat dilarutkan sehingga dapat dipergunakan untuk memperlambat kecendrungan itu.

3)        Penggaraman Campuran (Kench Salting)
Penggaraman kench pada dasarnya adalah penggaraman kering, tetapi tidak menggunakan bak. Ikan dicampur dengan kristal garam seperti pada penggaraman kering di atas lantai atau di atas geladak kapal. Larutan garam yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Cara tersebut tidak memerlukan bak, tetapi memerlukan lebih banyak garam untuk mengimbangi larutan garam yang mengalir dan terbuang. Proses penggaraman kench lebih lambat. Oleh karena itu, pada udara yang panas seperti di Indonesia, penggaraman kench kurang cocok karena pembusukan dapat terjadi selama penggaraman.
Penggaraman kering mampu memberikanhasil yang terbaik, karena daging ikan asin yang dihasilkan lebih padat. Pada penggaraman basah, banyak sisik-sisik ikan yang terlepas dan menempel pada ikan sehingga menjadikan ikan tersebut kurang menarik. Selain itu dagingnya kurang padat.
Proses penggaraman berlangsung lebihcepat pada suhu yang lebih tinggi, tetapi proses-proses lain termasuk pembusukan juga berjalan lebih cepat. Di negara dingin, penggaraman dilakukan pada suhu rendah, dan ternyata hasil keseluruhannya lebih baik daripada yang dilakukan pada suhu tinggi. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu panas, sebaiknya penggaraman dilakukan di tempat yang teduh.

c) Prosedur Penggaraman
o   Ikan dipisahkan berdasarkan jenis,ukuran dan tingkat kesegaranrannya
o   Ikan disiangi bagian sisik, isi perut dan insang.Kemudian dicuci sampai bersih.
o   Ikan digarami dengan metode wet salting,dry salting, ataupun kench salting
o   Lama penggaraman dipengaruhi oleh metode yang digunakan, ukuran dan tingkat kesegaran ikan
Setelah dilakukan proses penggaraman dilakukan proses pengeringan. Cara yang umum digunakan untuk mengeringkan ikan adalah dengan menguapkan air dari tubuh ikan, yaitu dengan menggunakan hembusan udara panas. Dengan hawa panas ini, akan terjadi penguapan air dari tubuh ikan dari mulai permukaan hingga ke bagian dalam tubuh ikan. Kecepatan penguapan atau pengeringan dipen garuhi beberapa faktor antara lain :
o   Kecepatan udara. Semakin cepat udara maka ikan akan semakin cepat kering
o   Suhu udara. Makin tinggi suhu udara maka penguapan akan semakin cepat
o   Kelembaban udara. Makin lembab udara, proses penguapan akan semakin lambat
o   Ketebalan daging ikan. Makin tebal daging ikan, proses pengeringan makin berjalan lambat
o   Arah aliran udara terhadap tubuh ikan. Makin kecil sudut arah udara terhadap posisi tubuh ikan maka ikan semakin cepat kering.

3.2  Pengeringan
a)      Teori Pengeringan

      Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua, yaitu metode pengeringan secara alami dan metode pengeringan buatan / mekanis).Metode pengeringan secara alami adalah suatu proses pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan media angin dan sinar matahari. Dalam pengeringan alam, ikan dijemur diatas rak-rak yang dipasang miring (+15o) kearah datangnya angin dan diletakkan ditempat terbuka supaya terkena sinar matahari dan hembusan angin secara langsung.
Keunggulan pengeringan alami adalah proses sangat sederhana, murah dan tidak memerlukan peralatan khusus sehingga gampang dilakukan oleh semua orang. Pada proses pengeringan ini, angin berfungsi untuk memindahkan uap air yang terlepas dari ikan, dari atas ikan ke tempat lain sehingga penguapan berlangsung lebih cepat. Tanpa adanya pergerakan udara, misalnya jika penjemuran ditempat tertutup (tanpa adanya hembusan angin), pengeringan akan berjalan lambat. Selain tiupan angin, pengeringan alami juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari pada saat penjemuran berlangsung.
Makin tinggi intensitasnya maka proses pengeringan akan semakin cepat berlangsung begitupun sebaliknya.Oleh karena itu, proses pengeringan alami sering terhambat pada saat musim penghujan karena intensitas cahaya matahari sangat kurang. Karena lambatnya pengeringan, proses pembusukan kemungkinan tetap berlangsung selama proses pengeringan.
Secara umum tujuan pengeringan ikan ialah :
o   untuk mengawetkan ikan dengan cara menurunkan kadar iar didalamnya
o   Untuk mengurangi volume dan berat ikan yang ditangani sehingga biaya penganggkutan dan penyimpanan menurun.
o   Untuk meningkatkan kenyamanan dalam penggunaan (pada beberapa jenis produk tertentu pengeringan dikombinasi dengan instanisasi).
Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini, kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembapan nisbi yang rendah sehingga terjadi penguapan.
Kemampuan udara membawa uap air bertambah besar jika perbedaaan antara kelembapan nisbi udara pengering dengan udara sekitar bahan semakin besar. Salah satu factor yang mempercepat proses pengeringan adalah kecepatan angin atau udara yang mengalir. Udara yang tidak mengalir menyebabkan kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan semakin jenuh sehingga pengeringan akan semakin lambat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada dua, yaitu :
o   faktor yang berhubungan dengan udara pengeringan seperti suhu, kecepatan aliran udara pengeringan dan kelembapan udara,
o   factor yang berhubungan dengan sifat bahan yang dikeringkan berupa ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial dalam bahan.

b)     Proses Pengeringan Mencegah kerusakan pada ikan
              Seperti pada pengolahan komoditi lainnya yang menggunakan panas, pengeringan juga menyebabkan perubahan sifat sifat pada ikan yang dikeringkan, perubahan yang terjadi antara lain
o   Perubahan suhu badan
              Bila suhu pengeringan rendah perubahan suhu bahan kecil sehingga di abaikan, tetapi bila digunakan suhu tinggi perubahan suhu yang terjadi cukup untuk mengubah sifat sifat bahan yang dikeringkan seperi pematangan, warna, denaturasi protein, dan lain lain.
o   Pengkerutan
              Ikan dengan kandungan air yang tinggi akan mengkerut bila dikeringkan pada tekanan atmosfir karena keluarnya air dari dalam jaringan, oleh karena itu bila pengkerutan tidak diinginkan pengeringan dilakukan pada tekanan rendah misalnya Feeze Drying.
o   Kerusakan Gizi
              Kerusakan gizi akibat pemanasan dan kerusakan yang disebabkan oleh reaksi yang terjadi selama proses pengeringan.

       Metode pengeringan dengan udara panas merupakan cirri khas dari Pengeringan Kapasitas udara untuk mengambil air dari bahan dan membuangnya ke luar tergantung pada suhu dan kelembabannya (uap air yang sudah berada didalamnya).

c)      Prosedur Pengeringan
  • Setelah selesai proses penggaraman, keluarkan ikan dari wadah penggaraman
  • Cuci dan bersihkan ikan dari kotoran serta sisa-sisa garam yang menempel ditubuhnya.
  • Masukkan ikan ketempat pengeringan pengeringan alami atau pengeringan mekanis
  • Lama pengeringan dipengaruhi oleh jenis pengeringan yang digunakan serta ukuran
      ikan yang dikeringkan
o   Setelah kering, ikan disortir berdasarkan kualitasnya dan dikemas dengan baik untuk
             menghindari kerusakan selama penyimpanan

d)     Mekanisme Pengeringan Ikan
Ketika udara panas dihembuskan pada bahan pangan Khususnya disini ialah ikan yang basah panas dipindahkan dari udara ke permukaan bahan dan panas laten penguapan menyebabkan air yang ada pada permukaan bahan pangan tadi menguap. Uap air berdifusi melalui lapisan tipis udara di sekeliling  permukaan bahan dan terbawa bersama hembusan udara yang mengenai bahan.
Penguapan air pada permukaan menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan uap air di permukaan  dan didalam bahan, demikian juga antara permukaan bahan dan udara sekeliling bahan. Perbedaan tekanan uap air inilah yang menyebabkan adanya aliran air dari dalam bahan. Perbedaan tekanan uap air inilah yang menyebabkan adanya aliran air dari dalam bahan pangan yang dikeringkan ke permukaan, selanjutnya diuapkan ke udara. Pergerakan air dari dalam bahan ke permukaan melalui mekanisme sebagai berikut :
  1. Pergerakan Cairan terjadi dalam saluran kapiler.
  2. cairan berdifusi karena perbedaan konsentrasi bahan bahan terlarut pada bagian bagian yang berbeda dari bahan pangan.
  3. Cairan juga berdifusi karena penyerapan oleh bagian padat dari bahan pangan yang terdapat pada permukaan.
  4. Air dalam bentuk uap juga berdifusi dalam ruang ruang udara di dalam bahan pangan akibat perbedaan tekanan uap air.
     Selama proses pengeringan ikan berlangsung ada waktu penyesuaian di mana panas digunakan untuk meningkatkan suhu permukaan bahan, sama seperti untuk memanaskan thermometer bola basah. Setelah terjadi proses pengeringan yang berarti terjadi penguapan sehingga air dalam bahan bergerak ke permukaan untuk menghentikan air yang telah menguap, dengan laju yang sama, sehingga permukaan ikan yang dikeringkan selalu basah.
Selain itu juga tergantung pada jumlah bahan dan laju pengeringan. Tiga factor pentig untuk menjaga pengeringan terjadi dengan laju yang konstan :
o   Suhu bola kering cukup tinggi namun tidak terlalu tinggi.
o   RH rendah.
o   Aliran udara cukup tinggi.

              Jadi ketiga factor tersebut diatas sangat mempengaruhi pengeringan ; berikut ini ialah kurva yang mmemperlihatkan laju pengeringan :

http://www.kp3k.kkp.go.id/ttg/gambar/ttg/fotoproses/thumbnails1/501_2.jpg
Gambar : Pengeringan ikan dengan cara Penjemuran melalui panas matahari




e)      Penyimpanan dan Pengemasan
Produk ikan asin kering yang sudah jadi perlu dijaga kualitasnya selama proses penyimpanan, transportasi dan distribusi sehingga harga jual bisa tidak menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengepakan dan pengemasan yang baik supaya kualitasnya tidak menurun. Pengemasan bisa dilakukan dengan menggunakan bahan kayu, kertas, kardus ataupun plastik. Bahan-bahan yang digunakan selama proses pengemasan dan pengepakan disesuaikan dengan keperluan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tahap penyimpanan adalah :
1) Ruang penyimpan harus bersih, kering dan sejuk
2) Sirkulasi udara lancar, sehingga menghilangkan bau-bau yang tidak sedap
3) Ikan kering dibongkar dan dijemur kembali bila terjadi kelembaban yang tinggi
4) Bahan lain yang dapat menjadi bahan pencemar seperti pestisida, minyak tanah dan sebagainya, tidak disimpan didekat ikan asin.

3.3 Penyimpanan ikan Teri Asin kering Menggunakan Obat anti Bakteri (Chitosan)
chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen dari total berat udang.Kadar chitin dalam berat udang, katanya, berkisar antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20 persen. Chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2.
Proses utama dalam pembuatan chitosan, meliputi penghilangan protein dan kendungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam.Selanjutnya, chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa.Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat.
chitosan sedikit mudah larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang kuat, yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun.Diungkapkan oleh Linawati Hardjito bahwa Departemen THP FPKI-IPB telah melakukan uji aplikasi chitosan pada beberapa produk ikan asin seperti, jambal roti, teri dan cumi. Dalam uji-riset yang dilakukan, chitosan pada berbagai konsentrasi dilarutkan dalam asam asetat, kemudian ikan asin yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan.
Beberapa indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain pertama, pada ekeefktifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, dimana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan.
Kedua, pada keunggulan dalam uji muu hedonik penampakan dan rasa, dimana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan ikan asin dengan formalin.
"Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan," katanya.
Indikator ketiga, adalah pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, dimana nilai TPC (bakteri) sampai pada minggi kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ikan asin, yakni dibawah 1 x 10 pangkat lima (100 ribu koloni per gram)."Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang," katanya merujuk riset (Allan dan Hadwiger, 1979 dalam El Grauth et al., 1991). Hal itulah yang menyebabkan daya simpan ikan asin yang diberikan perlakuan chitosan bisa bertahan sampai tiga bulan dibanding dengan ikan asin dengan penggaraman biasa yang hanya bisa bertahan sampai dua bulan.
Sedangkan indikator terakhir atau keempat, yakni pada kadar air, di mana perlakuan dengan pelapisan chitosan sampai delapan minggu menunjukkan kemampuan chitosan dalam mengikat air, karena sifat hidrofobik, sehingga dengan sifat ini akan menjadi daya tarik para pengolah ikan asin dalam aspek ekonomis.






BAB IV
KESIMPULAN

Pengeringan adalah suatu proses pengawetan yang telah lama dilakukan, pengeringan pada ikan biasanya dengan menguapkan air dari tubuh ikan, yaitu dengan menggunakan hembusan udara panas.Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang diawetkan dengan menambahkan banyak garam. Dengan metode pengawetan ini daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup rapat.
Penggaraman adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan garam
Metode penggaraman dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu dry salting (penggaraman kering), wet salting (penggaraman basah) dan kench salting (penggaraman kering tanpa wadah).
Metode pengeringan ada dua, yaitu :
o   pengeringan secara alami dan
o   pengeringan secara mekanis.
Pengeringan dilakukan setelah dilakukannya proses penggaraman Proses secara keseluruhan dalam pembuatan ikan asin: pencucian bahan mentah, penggaraman, pembilasan, penggeringan, pendinginan (diangin-anginkan) dan diikuti pengepakan sesuai kebutuhan


DAFTAR PUSTAKA

Ø  Jay,James M.1992.Modern Food Microbiology. Chapman&hall: London
Ø  Sasi, M,dkk.2000. Chilling Fresh Fish in Dry and Wet Ice. http:// biophyspal journal. Com (diakses 1 mei 2012)
Ø  Desroirer,Norman W. 2008. Pengawetan dan Pengolahan Bahan Pangan .Uip: Jakarta Sumber:  Premy Puspitawati Rahayu
















LAMPIRAN 1

PENGARUH KONSENTRASI GARAM PADA PEDA   IKAN KEMBUNG
(Rastrelliger   sp.) DENGAN FERMENTASI SPONTAN
The influence of salt concentration on peda chub mackerel (Rastrelliger sp.)
Desniar, Djoko Poernomo, Wini Wijatu
Departemen Teknologi Hasil Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Diterima 14 April 2009/ Disetujui 19 Juni 209

Abstract
Peda is one of fermented fish product without further drying process, so it still classifiedas  an intermediate  moisture  food  where the  fermentation  process  is  still  exist.  The  objective  of research  was  to  know  the  influence  of  salt  concentration  on  peda  spontaneous  fermentation process.  The  treatment  was  immersion  on  salt  concentrations  (30%,  40%  and  50%)  with  two salting phase. Parameters which observed were pH, water activity (aw), total viable count (TVC), lactic acid bacteria count (LAB) and salt  content during 0, 6, and 14 days  of  fermentation.  The
changes  of raw material and its chemical  composition were also analyzed include moisture, ash,protein and lipid, while total volatile basic (TVB)  and   trimethylamine (TMA) were observed at the end product a long with the sensory test. During the fermentation process, the value of pH, aw, salt content and log TVC  decreased, while the BAL total  log increased.  The proximate analyses showed that the moisture and protein on raw material were 73.91% and 22.01% respectively which higher with the product   52.71-53.94% for moisture and 20.15-21.54% for protein, while ash and lipid raw material were 3,22%   and 0,22% respectively which lower from its product 1.25-1.37% for ash dan 15.96-16.90% for lipid. The content of TVB (18.42-16.78mg/ 100 gr) and TMA (3.35- 2.23 mg/ 100 gr) of peda were decrease while increasing the salt content (30-50%). The sensorytest indicated  no significant different result in between all treatments. Therefore, the determination of selected product was based on the result of sensory test eg. 30% salt.
Keywords: chub mackerel, fermenstation, peda, Rastrelliger sp
PENDAHULUAN
Perkembangan   industri   perikanan   di   Indonesia   mengalami   peningkatan dalam   memenuhi   kebutuhan   masyarakat.   Berdasarkan   data   tahun   2004,   hasil perikanan tangkap  secara  nasional sebesar  4.320.241 ton dengan indeks  kenaikan rata-rata   per   tahun   sebesar   3,48%.   Dari   total   ini,   sebesar   1.117.965   ton   atau 25,87%  digunakan  untuk  keperluan  industri  pengolahan  ikan  secara  tradisional (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006).Salah  satu  teknik  pengolahan  ikan  secara  tradisional  adalah  fermentasi.Peda  adalah  salah  satu  produk  fermentasi   yang  tidak  dikeringkan  lebih  lanjut,melainkan          dibiarkan         setengah          basah,            sehingga          proses  fermentas tetap berlangsung. 
Umumnya proses fermentasi peda adalah fermentasi secara spontan, dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba   yang   berperan   aktif   dalam   proses   fermentasi   berkembang   biak   secara spontan   karena   lingkungan   hidupnya   yang   dibuat   sesuai   untuk   pertumbuhannya.
Fermentasi       ikan     secara  spontan            umumnya        menggunakan  garam  dengan konsentrasi     tinggi            untuk   menyeleksi      mikroba           tertentu            dan menghambat pertumbuhan  mikroba   yang  menyebabkan   kebusukan  sehingga   hanya   mikroba tahan garam yang hidup. Pengolahan dengan fermentasi memiliki beberapa keunggulan diantaranya proses   pengolahannya   sederhana,   mudah   dan   tidak   mahal,   bahan   baku   yang digunakan  dapat  berasal  dari    berbagai  jenis  ikan  sehingga  dapat  menggunakan hasil  tangkapan  yang  bernilai  ekonomis  rendah  atau  ikan  rucah.  Selain  itu  juga dapatmemanfaatkan   limbah seperti  jeroan  ikan            tuna     atau     cakalang          yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan bekasang (Rahayu et al. 1992).  

Produk fermentasi  biasanya  mengandung  nilai  gizi  yang  lebih tinggi  dari  bahan  asalnya. Selain  itu  fermentasi  dapat  membantu  dalam  mengawetkan  makanan  dan  juga memberikan  sifat-sifat  tertentu   yang  dapat  menjadi  daya  tarik  bagi  konsumen, unik serta dapat meningkatkan nilai ekonomi (Hutkins 2006).Konsentrasi   garam   yang  digunakan  dalam  fermentasi   ikan  peda  sangat menentukan   mutu   ikan   peda   tersebut,   disamping   kesegaran   bahan   bakunya. Karena   pemberian   garam   mempengaruhi   jenis   mikroba   yang   berperan   dalam fermentasi.  Ijong  dan  Ohta  (1996)  menyatakan  bahwa  garam  merupakan  bahan bakteriostatik  untuk  beberapa  bakteri  meliputi  bakteri  patogen  dan  pembusuk.Tujuan   penelitian   ini   adalah   untuk   mengetahui   pengaruh   konsentrasi   garam terhadap  proses  fementasi  ikan  kembung  (Rastrelliger  sp.)  menjadi  peda  selama
14 hari dengan fermentasi secara spontan.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian  dilakukan  pada  bulan  Oktober    Desember  2006,  dan  bertempat di  Laboratorium  Karakteristik  Bahan  Baku  Hasil  Perikanan,  Fakultas  Perikanan da IlmuKelautan,        Institut            Pertanian         Bogor            (FPIK  IPB),   Laboratorium Mikrobiologi FPIK IPB dan Laboratorium Biokimia FPIK IPB.
Bahan dan Alat
Bahan  baku   yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  ikan  kembung (Rastrelliger  sp.)  dan  garam.  Serta  bahan-bahan  kimia  diantaranya  Man  Ragosa Sharp   Agar   (MRSA),   Nutrient   Agar   (NA),   pelarut   heksana,   K2SO4,   AgNO3, akuades, larutan   NaCl,   buffer  fosfat,  asam    borat,   formaldehid,   NaOH dan lain-lain. Peralatan   yang  digunakan  dalam  penelitian  ini   antara   lain       timbangan, wadah fermentasi,  oven, timbangan, desikator, cawan porselin, pemanas  kjeldahl, labu  kjeldahl,  destilator,  erlenmeyer,  kertas  saring,  pemanas  listrik,  alat  ekstraksi soxhlet,  cawan  conway,  cawan petri,  inkubator, pH meter,  aw   meter  dan alat-alat gelas lainnya.



Lingkup Penelitian
Pembuatan Peda (Modifikasi Santoso 1998) Pembuatan   peda   dilakukan   sebagai   berikut:   pertama   ikan   dibersihkan, kemudian dicuci dan disimpan dalam 3  wadah fermentasi. Masing-masing wadah terdiri dari 2  kg ikan kembung dan masing-masing diberi  perlakuan penambahan garam  dengan            konsentrasi      30%,    40%     dan            50%.    Pertama-tama dilakukan penggaraman  I  dengan  menggunakan  garam  sebanyak  90%  (%  b/b)  dari  total konsentrasi  garam  pada  masing-masing  perlakuan  (misalnya  konsentrasi  garam 30% untuk 2  kg  ikan adalah 600  g   berarti 90%  dari 600  g adalah  540  g garam). Ikan dalam wadah disusun selapis demi selapis. Lapisan paling bawah terdiri dari garam  selanjutnya  di  atasnya  disusun  ikan.  Antara  lapisan  ikan  ditaburi  garam (135-200  gram  pada  setiap  lapisan).  Ikan  disimpan  selama  7  hari  dalam  wadah tertutup.
Hari  ke-7,  ikan  dalam  wadah  diangkat.  Seluruh garam  yang  tersisa  dari proses   penggaraman   I   pada   masing-masing   konsentrasi   ditimbang   kemudian dibuat  larutan garam  10%  (misalnya untuk  konsentrasi 30% sisa  garam  sebanyak 78 g, garam ini kemudian dibuat larutan 10%). Larutan  garam  digunakan untuk pecucian  ikan.  Pencucian  ikan dilakukan dalam kalo. Selanjutnya ikan ditiriskan selama 24 jam pada suhu ruang. Hari ke-8 dilakukan proses penggaraman II menggunakan garam sebanyak 10% (% b/b) dari total  garam  pada  masing-masing  perlakuan.   Ikan  disusun  selapis  demi  selapis seperti  pada  penggaraman  pertama dan  setiap  lapisan ditaburi  garam  secukupnya (15-20  gram pada setiap lapisan). Selanjutnya  ikan disimpan selama 6  hari dalam wadah   tertutup.   Hari   ke-14            ikan   diangkat.   Seluruh   sisa   garam   dari   proses penggaraman II ditimbang. Kemudian garam dilarutkan dalam air untuk dilakukan proses  perendaman.  Ikan  direndam  dalam  larutan garam  10%  (%  b/v)  (berat  sisa garam  dari  penggaram  II)  selama  10  menit  untuk menghilangkan  sisa  garam  dan kotoran dalan tubuh ikan. Pada hari ke-14 sudah terbentuk peda.
Pengamatan dan Analisis
Pengamatan dilakukan terhadap bahan baku, selama proses fermentasi dan produk akhir (ikan peda). Parameter  yang diukur adalah pH,  aktivitas air  (aw) dan kadar garam (Apriyantono  et al. 1989), total bakteri (TPC) dan total bakteri asam laktat  (BAL)  (Fardiaz  1989)setiap  0,  6  dan  14  hari  fermentasi.  Parameter  yang diukur untuk bahan baku dan produk akhir (peda) meliputi kadar air, abu, protein dan     lemak   (AOAC
            1995).KadarTVB(TotalVolatil           Base)   dan      TMA (trimetilamin)   (BPPMHP   2001)   serta  uji   sensori   (kenampakan,   warna,   aroma, tekstur dan rasa) (Zakaria 1998)   hanya dilakukan untuk produk akhir (peda) saja. Data   uji   sensori  dianalisis  dengan  statistik  non  parametrik  dengan  metode  uji Kruskal-Wallis  dan            apabila berbedanyata   dilakukan        uji        lanjut   Multiple Comparison (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis selama Proses Fermentasi
Analisis           selama proses  fermentasi       ikan     menjadi           peda    meliputi           pH, aktivitas air (aw), TPC, total BAL dan kadar garam. Pengaruh Konsentasi Garam Pada Peda  pH
Histogram  hubungan  konsentrasi  garam  dan  nilai  pH  peda  ikan  kembung selama  fermentasi  14  hari  dapat  dilihat  pada  Gambar  1.  Perlakuan  konsentrasi garam secara  umum  memiliki  kecenderungan yang sama,  yaitu  terjadi penurunan pH selama proses fermentasi (0-14 hari). Peningkatan konsentrasi garam dari 30% sampai            50% menyebabkan penurunan pH sedikit  lebih besar  yaitu 0,1; 0,13  dan 0,14  berturut-turut  untuk konsentrasi  30%,  40%  dan  50%.  Penurunan  pH  seiring dengan peningkatan jumlah total bakteri asam  laktat (Gambar 3B) dan penurunan kadar garam  (Gambar 4). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fermentasi kecap ikan dimana penurunan pH seiring dengan peningkatan jumlah bakteri asam laktat (Desniar et al.   2007).
Penurunan  pH  diduga   karena   adanya   sejumlah  besar   asam   laktat   yang dihasilkan  oleh  bakteri  asam  laktat  dalam  metabolismenya  sehingga  pH  media menjadi          asam    dan tidak         sesuai   untuk   mikroorganisme            lainnya (Frazier  dan  Westhoff  1988  yang  diacu  Kilinc  et  al.  2006).  Bakteri  asam  laktat secara umum dapat tumbuh pada pH 4-4,5; akan tetapi galur-galur tertentu toleran dan dapat  tumbuh  pada  pH 9  atau  rendah  seperti  3,2  (Bamforth   2005).  Menurut Ostergaard  et  al.  (1998)  yang diacu  oleh Ndaw  et  al.  (2008) bahwa  bakteri  asam laktat     merupakan       mikroorganisme           yang dominan dalam   beberapa          produk fermentasi ikan.
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Vol XII Nomor 1 Tahun 2009
LAMPIRAN 2

IKAN ASIN CARA PENGGARAMAN BASAH
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
TTG PENGOLAHAN PANGAN

ABSTRACT

Fish is a lot of food consumed by people other than as an export commodity. Fish experiencing rapid decay process compared with other food ingredients. Bacterial and chemical changes in the fish die cause decay. Quality of processed fish is highly dependent on the quality of raw materials.
ABSTRAK
Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi       ekspor. Ikan            cepat    mengalami       proses  pembusukan dibandingkan  dengan  bahan  makanan  lain.  Bakteri  dan  perubahan  kimiawi pada   ikan   mati   menyebabkan   pembusukan.   Mutu   olahan   ikan   sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya.



PENDAHULUAN
Tanda ikan yang sudah busuk:
-   mata suram dan tenggelam;
-   sisik suram dan mudah lepas;
-   warna kulit suram dengan lendir tebal;
-   insang berwarna kelabu dengan lendir tebal;
-   dinding perut lembek;
-   warna keseluruhan suram dan berbau busuk.

Tanda ikan yang masih segar:
-   daging kenyal;
-   mata jernih menonjol;
-   sisik kuat dan mengkilat;
-   sirip kuat;
-   warna keseluruhan termasuk kulit cemerlang;
-   insang berwarna merah;
-   dinding perut kuat;
-   bau ikan segar.

Ikan  merupakan  salah  satu  sumber  protein  hewani  yang  banyak  dikonsumsi masyarakat,   mudah   didapat,   dan   harganya   murah.   Namun   ikan   cepat mengalami   proses   pembusukan.   Oleh   sebab   itu   pengawetan   ikan   perlu diketahui  semua  lapisan  masyarakat.  Pengawetan  ikan  secara  tradisional bertujuan  untuk   mengurangi  kadar  air  dalam   tubuh   ikan,   sehingga   tidak memberikan kesempatan     bagi     bakteri untuk berkembang     biak.    Untuk mendapatkan  hasil  awetan  yang  bermutu  tinggi  diperlukan  perlakukan  yang baik selama proses pengawetan seperti : menjaga kebersihan bahan dan alat yang  digunakan,  menggunakan  ikan  yang  masih  segar,  serta  garam  yang bersih.  Ada  bermacam-macam  pengawetan  ikan,  antara  lain  dengan  cara: penggaraman, pengeringan, pemindangan,     perasapan,       peragian,          dan pendinginan ikan.
Manfaat makan ikan sudah banyak diketahui orang, seperti di negara Jepang dan  Taiwanikan  merupakan  makanan  utama  dalam  lauk  sehari-hari  yang memberikan  efek  awet  muda  dan  harapan  hidup  lebih  tinggi  dari  negara lainnya. Penggolahan ikan dengan berbagai cara dan rasa menyebabkan orang mengkonsumsi ikan lebih banyak. Ikan asin adalah makanan awetan yang diolah dengan cara penggaraman dan pengeringan.

Ada 3 cara pembuatan :
1) Penggaraman kering dengan pengeringan;
2) Penggaraman basah (perebusan dalam air garam) dengan pengneringan;
3) Penggaraman   yang   dikombinasikan   dengan   peragian   (pembuatan   ikan peda).

BAHAN DAN ALAT
1. Ikan segar    10 gram
2. Garam dapur           4 kg
3.Panci
4. Bak penggaraman
5.Tampah (nyiru)



CARA PEMBUATAN





1) Masukkan garam ke dalam 10 liter air;
2) Masukan ikan , kemudian rebus selama 5~10 menit atau rendam selama 3~4M jam, dan tutup dengan diberi pemberat;
3) Tiriskan sekitar 15 menit kemudian jemur sampai kering (3 hari);
4) Biarkan beberapa saat (angin-anginkan) kemudian  kemas dalam kantong.

DIAGRAM ALIR PEMBUATAN IKAN ASIN CARA PENGGARAMAN BASAH










Catatan:
1) Ikan asin yang   bermutu baik adalah jika memenuhi syarat Standar Industri Indonesia (SII), yaitu :
a. Mempunyai bau, rasa, dan warna normal, serta bentuk yang baik;
b. Berkadar air paling tinggi 25 %
c. Berkadar garam (NaCl) antara 10 % ~ 20 %;
d. Tidak mengandung logam jamur, juga tidak terjadi pemerahan bakteri;

2) Ada beberapa cara untuk mempercepat pengeringan ikan asin :
a. Menjemur  ikan  di  atas  para-para  setinggi    1  m  dari  atas  tanah,  di halaman terbuka;
b. Menjemur ikan di dalam ruang pengering dari plastik (solar dryer);
c. Mengalir  udara  panas  ke  permukaan  ikan  dalam  ruangan  (mechanical dryer);
d. Mengatur cara penjemuran ikan, jangan sampai bertumbuk;
e. Membelah daging ikan;
f.  Membuat sayatan pada daging ikan.

3. Perbandingan komposisi ikan asin dan ikan teri kering per 100 gram bahan
adalah sebagai berikut :
Tabel 2.  Komposisi Ikan Asin dan Ikan Teri
KOMPONEN
IKAN ASIN  (%)
IKAN TERI KERING (%)
Protein
42,00
33,40
Lemak
1,50
3,00
Fosfor
0,30
1,50
Besi
0,002
0,0036
Vitamin B1
0,01  mg
0,15

DAFTAR PUSTAKA
1) Pembuatan ikan asin.   Jakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Hasil Pertanian, Departemen Perindustrian, 1982. Publikasi No. 4.
2) Daftar komposisi bahan makanan.  Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1979.

KONTAK HUBUNGAN
Pusat  Informasi  Wanita  dalam  Pembangunan,  PDII,  LIPI,  Jl.  Jend.  Gatot
Subroto 10 Jakarta 12910.

Jakarta, Maret 2000

Sumber            :   Tri  Margono,  Detty  Suryati,  Sri  Hartinah,  Buku  Panduan  Teknologi
Pangan,   Pusat   Informasi   Wanita   dalam   Pembangunan   PDII-LIPI
bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, 1993.
Editor  :   Esti, Agus Sediadi.








LAMPIRAN 3
STUDI PENGGUNAAN KHITOSAN
SEBAGAI ANTI BAKTERI PADA IKAN TERI (Stolephorus heterolobus)
ASIN KERING SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR

THE EFFECT OF CHITOSAN CONCENTRATION ON QUALITY
OF DRIED-SALTED ANCHOVY (Stolephorus heterolobus)
DURING ROOM TEMPERATURE STORAGE

Sri Sedjati 1), Tri Winarni Agustini1), Titi Surti 1)

ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari penggunaan khitosan pada proses pengawetan ikan teri (S. heterolobus) asin kering selama penyimpanan suhu kamar.  Tujuannya adalah   mengetahui konsentrasi   khitosan   yang   efektif   untuk   proses   pengolahannya.   Metoda   penelitian menggunakan  Rancangan  Acak  Kelompok  (RAK)  faktorial  .  Faktor  pertama  adalah perlakuan konsentrasi khitosan (tiga taraf :0,0%; 0,5%; 1,0%) dan faktor kedua adalah lama penyimpanan(lima taraf : 0; 2; 4; 6; 8 minggu). Variabel dependen yang diamati meliputi total bakteri/TPC, kadar air dan aktifitas air). Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  perlakuan  konsentrasi khitosan  berpengaruh  nyata(p<0,01)  hanya  terhadap  variabel  dependen  total  bakteri.   Sedangkan  perlakuan  lama penyimpanan berpengaruh nyata ( p<0,01) terhadap variabel kadar air dan total bakteri. Konsentrasi khitosan 0,5%  merupakan konsentrasi yang  efektif untuk  menurunkan total bakteri ikan teri asin kering.

Kata-kata  kunci:  Konsentrasi  Khitosan,  Ikan  Teri  (S.  heterolobus.)  Asin  Kering,      
                             
ABSTRACT
This  research  studied  the  application  of  chitosan  on  dried-salted  anchovy  S.heterolobus   preservation during storage at room temperature.   The   aim of study was toknow the effect ive concentration of chitosan for its processing. The experimental designused  was Randomized  Complete Block  with  two  factors.   The first  factor was chitosan concentration (three levels, i.e: 0,0%; 0,5%; 1,0%) while the second factor was storage time (five levels, i.e: 0; 2; 4; 6; 8 weeks). Observation of dependent variables included total bacterial counts/TPC, moisture content and water activity. The results of this study indicated that chitosan concentration variable was significantly reduced the total bacterial counts (p<0,01).  During storage at room temperature, storag time variable was significantly influencing the moisture and total bacterial counts (p<0,01). The effective concentration of chitosan for reducing total bacterial counts was 0,5%.

Key Words: Chitosan Concentration, Dried-salted Anchovy (S. heterolobus),
                     Storage Time
1) Staf Pengajar FPIK UNDIP

I.          PENDAHULUAN
Sumber            daya    ikan     teri       banyakterdapat   di   perairan   Indonesia.      Teri banyak  ditangkap  karena  mempunyai arti penting sebagai bahan makanan yang dapat dimanfaatkan   baik   sebagai   ikan   segar maupun  ikan  kering  (Nontji,  1987).  Ikan teri  berukuran  kecil  dan  sangat  mudah rusak/membusuk. Itu sebabnya perlu  cara untuk  mempertahankan  daya  awet  tanpa harus      menghilangkan            kenikmatan      dan unsur  keamanannya.  Salah  satu  caranya adalah     diasinkan.        Cara     pengawetan dengan penggaraman yang diikuti dengan pengeringan adalah merupakan usaha yang paling  mudah untuk  menyelamatkan  ikan teri hasil tangkapan nelayan.   Penggunaan garam  sebagai  bahan  pengawet  terutama ditekankan   pada   kemampuannya   untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Saat ini sering beredar berita tentang penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada industri penanganan dan pengolahan hasil       perikanan         di         Indonesia, seperti formalin  dan  insektisida. Menurut  Balai POM  DKI  Jakarta  (2005),  penelitian  di laboratorium  menunjukkan          hasil  positif untuk sebagian besar produk ikan asin dari
Teluk  Jakarta. Contoh  ikan  asin  yang perikanan,   termasuk   proses   pengolahan ikan asin.     Senyawa khitosan  aman dan tidak  berbahaya  bagi  manusia.  Khitosan merupakan  produk  turunan  dari  polimer khitin.   Bentuknya mirip dengan selulosa, hanya beda pada gugus hidroksi C-2 khitin yang   digantikan   dengan   gugus   amino (NH2) (Roberts, 1992).Di   Indonesia,   penelitian   aplikasi khitosan  sudah  diujicobakan  pada  proses pengolahan   ikan   cucut   asin   di   Muara Angke.     Menurut          hasil     penelitian  penggunaan  khitosan  dengan  konsentrasi1,5%  pada  ikan  cucut  asin  kering  dapat memperpanjang daya awetnya.  Pada suhu kamar,  ikan  cucut  asin  yang  diawetkan  dengan   formalin   bertahan   3   bulan   2 minggu, dengan perlakuan khitosan dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan tanpa khitosan hanya dapat bertahan 2 bulan saja (Suseno 2006).
Penelitian     ini     dilakukan     untuk mencoba  mengaplikasikan  khitosan  pada produk  ikan  teri  asin  kering.  Tujuannya adalah     mencari     konsentrasi     larutan khitosan   yang   tepat   untuk   membentuk  lapisan   (edible   coating),   pada   produk tersebut     sehingga     dapat     mengurangi kerusakan   mikrobiologis   akibat   bakteri selama penyimpanan suhu kamar. mengandung formalin di antaranya adalah teri asin kering (2,88 ppm). Penggunaan khitosan           dapat diaplikasikan   pada   pengolahan         hasil
II.        MATERI DAN METODE
Penelitian  ini  menggunakan  metodeMeksperimental   laboratoris   dengan  obyek penelitian   pengolahan           ikan   teri   (asin kering).  Ikan teri yang diolah adalah jenis Stolephorus  heterolobus  (Saanin,  1984). Ikan  teri  asin  kering  diolah  dengan  carapenggaraman basah, yaitu           dengan perendaman   dalam   larutan   garam   10% selama   3   jam. Penjemuran   dilakukan selama 2   hari dengan sinar matahari dan ditutup  dengan  kasa  plastik. Pencelupan dalam   larutan   khitosan(dengan   pelarut asam asetat   1%)      dilakukan       
setelah penjemuran   selama   1   hari   (   setengah kering) dan kemudian dijemur sehari lagi hingga   kering.            Ikan   teri   asin   keringdikemas         dalam plastikbening,PE/Polyethylene (ketebalan 0,025 mm) dan disimpan   dalam  suhu   kamar   selama   8 minggu. Variabel           yang    diamati            dalam penelitian ini meliputi variabel independen(perlakuan),  yaitu         konsentrasi  khitosan dalam    asam    asetat   1%       dan lama penyimpanan. Variabel dependen meliputi analisa total bakteri / TPC, kadar air dan aktifitas air. Percobaan            faktorial           ini        memakai desain   Rancangan   Acak   Blok   (RAB) dengan   2   kali   ulangan   (sebagai   blok).
Faktor  A  (konsentrasi  larutan  khitosan) terdiri  dari  tiga  taraf,  yaitu  :  0%,  0,5%,1,0%.   Faktor   B   (lama   penyimpanan   ) terdiri dari lima taraf, yaitu: 0, 2, 4, 6 dan 8,minggu. Untuk  melihat  gambaran  mengenai aktifitas khitosan sebagai anti bakteri pada ikan teri asin kering  yang    diolah  sesuai perlakuan, dilakukan analisa ANOVA dua jalur    dengan    SPSS    (Santosa,    2004 ;Ghozali, 2005) terhadap variabel-variabel yang diamati.
III.   HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemampuan khitosan sebagai bahan pengawet dipengaruhi oleh mutu khitosan itu   sendiri.   Dalam   dunia   perdagangan internasional   sudah   ada   standar   mutu khitosan yang telah disepakati.   Khitosan yang     dipakai     dalam     penelitian     ini mempunyai    karakteristik    mutu    seperti tertera pada Tabel 1 dan telah memenuhi  standar perdagangan internasional.Kemurnian  khitosan  dapat     dilihat dari kadar air dan kadar abu yang rendah, namun  memiliki  derajat  deasetilasi  yang tinggi.   Semakin tinggi derajat deasetilasi, semakin banyak gugus amino (NH2) padarantai molekul khitosan sehingga khitosansemakin     reaktif.          Keunikan     bahan pengawet    khitosan    ini   adalah   karena mempunyai gugus amino tersebut.  Pelapisdari       polisakarida       ini       merupakanpenghalang   (barrier)   yang   baik,   sebab pelapis  jenis  ini  bisa  membentuk  matrik Sri Sedjati, Tri Winarni Agustini, Titi Surti, Studi Penggunaan Khitosan … 56
yang  kuat  dan  kompak  yang  berfungsisebagai pelindung.   Khitosan mudah larut dalam asam organik dan memiliki muatan negatif dari senyawa  lain,  termasuk  yang terdapat    di    dalam    membran    bakteri (Suseno,2006).






Tabel  1.  Karakteristik Khitosan Bahan Penelitian dan Standar Internasional
Parameter
Karakteristik Khitosan
Bahan Penelitian*
Standar Internasional**
-    Ukuran partikel
-    Kadar air
-    Kadar abu
-    Kadar protein
-    Derajat deasetilasi
-    Bau
-    Warna larutan
-    Viscositas
Butiran/bubuk < 2 mm
7,54%
0,75%
-
75,42%
Tidak berbau
Jernih (agak putih)
300 cp
Butiran/bubuk < 2 mm
< 10 %
< 2%
-
Minimal 70 %
Tidak berbau
Jernih
200  799 cps
Sumber :  *Suseno (2006)
                **Protan dalam Bastaman (1989)
Hasil pengamatan   mengenai analisa total     bakteri  /  TPC,            kadar  air         dan aktifitas    air  ikan  teri  asin  kering  dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2.  Nilai TPC, Kadar Air dan Aktifitas Air Sampel Ikan Teri Asin Kering
Sampel
TPC (koloni/g)
Kadar Air (% bb)
Aktifitas Air
A1B1
ab
250±0
16,74±2,74a
0,634 ± 0,004a
A2B1
de
105±21
17,76±2,81a
0,635 ± 0,004a
A3B1
cd
135±21
17,02±2,93a
0,625 ± 0,015a
A1B2
de
90±0
18,39±4,09a
0,634 ± 0,025a
A2B2
e
25±7
18,56±3,71a
0,647 ± 0,003a
A3B2
de
45±7
18,68±3,59a
0,649 ± 0,002a
A1B3
de
75±7
19,39±2,60a
0,637 ± 0,016a
A2B3
de
45±21
20,36±2,72a
0,638 ± 0,013a
A3B3
de
55±21
19,96±2,31a
0,639 ± 0,009  a
A1B4
bcd
145±35
19,01±1,20a
0,639 ± 0,008a
A2B4
de
105±21
19,56±0,69a
0,643 ± 0,021a
A3B4
de
70±0
19,73±1,77a
0,647 ± 0,023a
A1B5
a
330±28
19,91±2,89a
0,642 ± 0,021a
A2B5
bc
160±42
19,66±3,47a
0,635 ± 0,006a
A3B5
bc
155±35
20,09±3,54a
0,644 ± 0,008a
Ket.:Data merupakan rata-rata dari 2 ulangan Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
A=konsentrasi larutan khitosan (1=0,0%; 2=0,5%; 3=1,0%)
B=lama penyimpanan (1=0 minggu; 2=2 minggu; 3= 4 minggu; 4= 6 minggu; 5= 8 minggu

Perubahan total bakteri (TPC), kadar air   dan   aktifitas   air            selama   masake-8 secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1, 3 dan 4.
                   350                          0,5% khitosan
                                                    1,0% khitosan

250
200

                         Gambar  1.  Grafik PC (koloni/g) Ikan Teri Asin Kering

Tidak ada komentar:

Posting Komentar