BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan bahan
makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain
sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu dilakukan pengawetan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak.
sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu dilakukan pengawetan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak.
Pengeringan merupakan
salah satu cara pengawetan pangan yang paling tua dan paling luas digunakan.
Cara ini merupakan suatu proses yang ditiru dari alam. Pengawetan pangan dengan
pengeringan dapat dilakukan pada semua biji-bijian serelia, dan proses alami
tersebut sedemikian efisien sehingga hampir tidak memerlukan tenaga tambahan
dari manusia. Ada periode-periode tertentu dalam sejarah dengan faktor iklim
yang dapat menyebabkan biji-bijian tidak dapat kering sebagaimana mestinya.
Dengan keadaan ini, orang berusaha untuk membantu kegiatan alami ini dengan
menyediakan panas agar biji-bijian tersebut tidak rusak. Biji-bijian,
leguminosa, kacang-kacangan dan buah-buahan tertentu matang di pohon dan
mengering akibat angin dan panas.
1.2 Tujuan
Penulisan
- Untuk mengetahui pengertian pengeringan dan penggaraman
- Untuk mengetahui proses dan prinsip pengawetan dan penggaraman
- Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam pengeringan dan penggaraman
- Untuk mengetahui tahapan dari proses pengeringan dan penggaraman
1.3 Rumusan
masalah
- Apa yang dimaksud dengan pengeringan dan penggaraman?
- Bagaimana proses dan prinsip pengawetan dengan penggaraman ikan?
- Apa saja metode yang digunakan dalam pengeringan dan penggaraman?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pengeringan dan Penggaraman
Pengeringan merupakan suatu
proses metode pengawetan produk yang pertama dilakukan oleh manusia.
Selama proses pengeringan, ikan akan mengalami pengurangan kadar air yang
mengakibatkan proses metabolisme bakteri pembusuk dalam tubuh ikan menjadi
terganggu. Sehingga proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat atau
dihentikan.
Proses pengeringan disini dapat menggunakan
sistem pengasapan dan pengovenan. Proses pengeringan dilakukan setelah proses
penggaraman. Penggaraman adalah suatu proseskegiatan yang bertujuan untuk
mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan garam. Kadar air yang
dicapai kira-kira 25%-30% agar ikan hasil pengeringan dapat awet untuk
disimpan. Hal yang harus dilakukan agar dapat menghasilkan ikan dengan kadar
air 25%-30% yaitu jangan mengeringkan ikan secara utuh tetapi belah ikan dengan
modelbutterfly (belah jadi 2) dengan ketebalan 3 cm lalu dikeringkan pada
suhu maksimal 45 derajat dengan kecepatan angin 1-2 m per detik selama 8-12 jam
Alat-alat yang dibutuhkan untuk proses
pengeringan tidak terlalu rumit. Alat-alat tersebut berupa kompor berbahan bakar
minyak tanah atau batu bara dan rak pengering dalam berbagai bentuk dan ukuran
yang dapat juga dibuat sendiri dengan ukuran yang dibutuhkan. Selain beberapa
alat yang telah disebutkan tadi ada juga alat yang lebih modern dan canggih
yaitu pengering yang dilengkapi dengan sel penangkap sinar matahari.
2.2 Metode Penggaraman/pengasinan dan
pengeringan
Pada dasarnya, metode penggaraman ikan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu penggaraman kering (Dry Salting),
penggraman basah (WetSalting) dan Kench Salting.
a)
Penggaraman Kering (Dry Salting)
Metode penggaraman kering menggunakan kristal
garam yang dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya, ikan yang berukuran besar
dibuang isi perut dan badannya dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan
ditempatkan didalam wadah yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis
demi selapis dengan setiap lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan
paling bawah wadah merupakan lapisan garam.
Garam yang digunakan pada proses penggaraman
umumnya berjumlah 10 % - 35 % dari berat ikan yangdigarami. Pada waktu ikan
bersentuhan dengan kulit / daging ikan (yang basah/berair), garam itu mula-mula
akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akan meresap kedalam daging
ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidak langsung menyerap air,
tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan.
b) Penggaraman Basah (Wet Salting)
Penggaraman
basah menggunakan larutan garam 30 - 35 % (dalam 1liter air terdapat 30 – 35
gram garam). Ikan yang akan digaramidimasukkan kedalam larutan garam tersebut,
kemudian bagian atas wadah ditutup dan diberi pemberat agar semua ikan
terendam. Lama waktu perendaman tergantung pada ukuran ketebalan tubuh ikan dan
derajat keasinan yang diinginkan.
Dalam proses osmosa, kepekatan larutan garam
akan semakin berkurang karena adanya kandungan air yang keluar dari tubuh ikan,
sementara itu molekul garam masuk kedalam tubuh ikan. Proses osmosa akan
berhenti apabila kepekatan larutan diluar dan didalam tubuh ikan sudah
seimbang.
c) Kench Salting
Pada dasarnya, teknik penggaraman ini sama
dengan pengaraman kering (dry salting) tetapi tidak mengunakan bak /wadah penyimpanan.
Ikan dicampur dengan garam dan dibiarkan diataslantai atau geladak kapal,
larutan air yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Kelemahan dari cara
ini adalah memerlukanjumlah garam yang lebih banyak dan proses
penggaramanberlangsung sangat lambat.
Ada dua metode pengeringan yang biasa
dilakukan yaitu : Pengeringan alami dan pengeringan mekanis. Keuntungan
pengeringan alami antara lain adalah tidak memerlukan peralatan dan
keterampilan khusus tetapi memiliki kelemahan yaitu membutuhkan tempat yang
luas serta waktu pengeringan (suhu) sulit dikendalikan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Penggaraman dan Pengasinan Ikan
a) Persiapan
1)
Penyediaan bahan baku.
o Ikan yang akan diproses sebaiknya dipisahkan
berdasarkan jenis, tingkat kesegaran dan ukuran ikannya. Hal ini dilakukan
untuk penyeragaman penetrasi garam pada saat penggaramanberlangsung
o Sediakan garam sebanyak 10 – 35 % dari berat
total ikan yang akan diproses, tergantung tingkat keasinan yang diinginkan.
Sebaiknya, gunakan garam murni (NaCl 99%) agar ikan asin berkualitas baik.
2)
Penyediaan peralatan
o Siapkan wadah bak kedap air yang terbuat dari
semen, kayu, fiber atau plastik. Bila proses penggaraman menggunakan metode
kench salting, wadah bak penggaraman tidak diperlukan- Siapkan penutup bak sesuai
ukuran bak dilengkapi dengan pemberat untuk membantu agar semua ikan terendam
dalam larutan garam
o Pisau atau golok yang tajam untuk
membersihkan dan menyiangi ikan
o Timbangan untuk menimbang ikan yang telah
dibersihkan serta jumlah garam yang dibutuhkan
o Keranjang plastik atau bambu untuk mengangkut
ikan sebelum dan setelah proses penggaraman
o Tempat penjemuran atau para-para yang
tingginya kurang lebih 1 meter diatas permukaan tanah. Sebaiknya para-para
dibuat miring 15 derajat ke arah datangnya angin untuk mempercepat proses
pengeringan.
3)
Penanganan dan penyiangan
o Untuk mempermudah proses penanganan,
tempatkan ikan diwadah terpisah sesuai ukuran, jenis dan tingkat kesegaran
o Pada ikan berukuran besar, perlu dilakukan
penyiangan dengan membuang isi perut, insang dan sisik. Kemudian tubuh ikan
dibelah menjadi dua sepanjang garis punggung kearah perut. Hal ini dilakukan
untuk mempercepat proses penggaraman
o Pada ikan yang berukuran sedang, cukup
dibersihkan insang, sisik dan isi perut.Bagian badan tidak perlu dibelah.
o Pada ikan kecil seperti teri atau petek,
cukup dicuci dengan air bersih saja, tidak perlu disiangi.
o Proses pencucian dilakukan dengan air bersih
yang mengalir, agar ikan benar-benar bersih
o Tiriskan ikan yang telah dicuci bersih dalam
wadah keranjang plastik atau bambu yang telah disediakan. Pada proses penirisan
ini, ikan disusun rapi dengan perut menghadap ke bawah agar tidak ada air yang
menggenang dirongga perutnya
o Setelah ikan agak kering, timbanglah ikan
agar dapat mengetahui jumlah garam yang diperlukan dalam proses penggaraman
b) Tahapan proses
penggaraman
Pada dasarnya metode penggaraman ikan
dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu penggaraman kering, penggaraman
basah, dan penggaraman campuran.
1) Metode dry salting /Penggaraman kering
Metode penggaraman kering menggunakan kristal garam
yang dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya ikan-ikan yang besar dibuang isi
perutnya terlebih dahulu dan bila perlu dibelah agar dagingnya menjadi tipis sehingga
lebih mudah untuk ditembus oleh garam. Pada proses penggaraman, ikan
ditempatkan di dalam wadah yang kedap air, misalnya bak dari kayu atau dari
bata yang disemen. Ikan disusun selapis demi selapis di dalam wadah, diselingi
dengan lapisan garam. Jumlah garam yang dipakai umumnya 10-35% dari berat ikan.
Prosesnya :
o Taburkan garam ke dasar bak setebal 1 – 5 cm
tergantung jumlah ikan yang diolah. Lapisan ini berfungsi sebagai alas ikan
pada saatproses penggaraman
o Susunlah ikan dengan rapi diatas lapisan
garam tadi. Usahakan bagian perut ikan menghadap kebawah. Diatas lapisan ikan
yang sudah tersusun, taburkan kembali garam secukupnya. Lakukan itusampai semua
ikan tertampung didalam wadah, setiap lapisan ikan selalu diselingi oleh
lapisan garam. Pada lapisan atas ditebarkan
o Garam setebal 5 cm agar tidak dihinggapi
lalat.
o Tutuplah bak atau wadah dengan papan yang
telah diberi pemberat agar proses penggaraman dapat berlangsung dengan baik.
Ikan dengan tingkat keasinan tertentu dapat diperoleh sebagai hasil akhir
proses penggaraman.
o Selesainya proses penggaraman ditandai dengan
adanya perubahan tekstur, daging ikan menjadi kencang dan padat. Lamanya
penggaraman tergantung jenis, ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Walau
demikian, umumnya proses penggaraman dapat berlangsung 1 – 3 hari untuk ikan
ukuran besar, 12 – 24 jam untuk ikan ukuran sedang dan 6 – 12 jam untuk ikan
ukuran kecil
o Langkah selanjutnya, ikan diangkat dari
tempat penggaraman. Ikan dicuci dan dibersihkan dari kotoran yang menempel.
2) Penggaraman Basah (Wet Salting)
Penggaraman
basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter larutan garam berisi
30-50 kg garam). Ikan dimasukkan ke dalam larutan itu dan diberi pemberat agar
semua ikan terendam, tidak ada yang terapung. Ikan direndam dalam jangka waktu
tertentu tergantung pada :
a.
Ukuran dan tebal ikan
b.
Derajat keasinan yang diinginkan
Di dalam
proses osmosis, kepekatan makin lama makin berkurang karena air dari dalam
daging ikan secara berangsur-angsur masuk ke dalam larutan garam, sementara sebagian molekul
garam masuk ke dalam daging ikan. Karena kecenderungan penurunan kepekatan
larutan garam itu, maka proses osmosis akan semakin lambat dan pada akhirnya
berhenti. Larutan garam yang lewat jenuh yaitu jumlah garam lebih banyak dari
jumlah yang dapat dilarutkan sehingga dapat dipergunakan untuk memperlambat
kecendrungan itu.
3)
Penggaraman Campuran (Kench Salting)
Penggaraman kench pada dasarnya adalah penggaraman
kering, tetapi tidak menggunakan bak. Ikan dicampur dengan kristal garam
seperti pada penggaraman kering di atas lantai atau di atas geladak kapal.
Larutan garam yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Cara tersebut
tidak memerlukan bak, tetapi memerlukan lebih banyak garam untuk mengimbangi
larutan garam yang mengalir dan terbuang. Proses penggaraman kench lebih lambat.
Oleh karena itu, pada udara yang panas seperti di Indonesia, penggaraman kench
kurang cocok karena pembusukan dapat terjadi selama penggaraman.
Penggaraman kering mampu memberikanhasil yang terbaik,
karena daging ikan asin yang dihasilkan lebih padat. Pada penggaraman basah,
banyak sisik-sisik ikan yang terlepas dan menempel pada ikan sehingga
menjadikan ikan tersebut kurang menarik. Selain itu dagingnya kurang padat.
Proses penggaraman berlangsung lebihcepat pada suhu
yang lebih tinggi, tetapi proses-proses lain termasuk pembusukan juga berjalan
lebih cepat. Di negara dingin, penggaraman dilakukan pada suhu rendah, dan
ternyata hasil keseluruhannya lebih baik daripada yang dilakukan pada suhu
tinggi. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu panas, sebaiknya
penggaraman dilakukan di tempat yang teduh.
c) Prosedur Penggaraman
o Ikan dipisahkan berdasarkan jenis,ukuran dan
tingkat kesegaranrannya
o Ikan disiangi bagian sisik, isi perut dan
insang.Kemudian dicuci sampai bersih.
o Ikan digarami dengan metode wet salting,dry
salting, ataupun kench salting
o Lama penggaraman dipengaruhi oleh metode yang
digunakan, ukuran dan tingkat kesegaran ikan
Setelah dilakukan proses penggaraman
dilakukan proses pengeringan. Cara yang umum digunakan untuk mengeringkan ikan
adalah dengan menguapkan air dari tubuh ikan, yaitu dengan menggunakan hembusan
udara panas. Dengan hawa panas ini, akan terjadi penguapan air dari tubuh ikan
dari mulai permukaan hingga ke bagian dalam tubuh ikan. Kecepatan penguapan
atau pengeringan dipen garuhi beberapa faktor antara lain :
o Kecepatan udara. Semakin cepat udara maka
ikan akan semakin cepat kering
o Suhu udara. Makin tinggi suhu udara maka
penguapan akan semakin cepat
o Kelembaban udara. Makin lembab udara, proses
penguapan akan semakin lambat
o Ketebalan daging ikan. Makin tebal daging
ikan, proses pengeringan makin berjalan lambat
o Arah aliran udara terhadap tubuh
ikan. Makin kecil sudut arah udara terhadap posisi tubuh ikan maka ikan
semakin cepat kering.
3.2
Pengeringan
a)
Teori Pengeringan
Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama
dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua, yaitu metode pengeringan
secara alami dan metode pengeringan buatan / mekanis).Metode pengeringan secara
alami adalah suatu proses pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan
media angin dan sinar matahari. Dalam pengeringan alam, ikan dijemur diatas
rak-rak yang dipasang miring (+15o) kearah datangnya angin dan diletakkan
ditempat terbuka supaya terkena sinar matahari dan hembusan angin secara
langsung.
Keunggulan pengeringan alami adalah proses
sangat sederhana, murah dan tidak memerlukan peralatan khusus sehingga gampang
dilakukan oleh semua orang. Pada proses pengeringan ini, angin berfungsi
untuk memindahkan uap air yang terlepas dari ikan, dari atas ikan ke tempat
lain sehingga penguapan berlangsung lebih cepat. Tanpa adanya pergerakan udara,
misalnya jika penjemuran ditempat tertutup (tanpa adanya hembusan angin),
pengeringan akan berjalan lambat. Selain tiupan angin, pengeringan alami juga
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari pada saat penjemuran berlangsung.
Makin tinggi intensitasnya maka proses
pengeringan akan semakin cepat berlangsung begitupun sebaliknya.Oleh karena
itu, proses pengeringan alami sering terhambat pada saat musim penghujan karena
intensitas cahaya matahari sangat kurang. Karena lambatnya pengeringan, proses
pembusukan kemungkinan tetap berlangsung selama proses pengeringan.
Secara
umum tujuan pengeringan ikan ialah :
o
untuk
mengawetkan ikan dengan cara menurunkan kadar iar didalamnya
o
Untuk
mengurangi volume dan berat ikan yang ditangani sehingga biaya penganggkutan
dan penyimpanan menurun.
o
Untuk
meningkatkan kenyamanan dalam penggunaan (pada beberapa jenis produk tertentu
pengeringan dikombinasi dengan instanisasi).
Dasar pengeringan adalah terjadinya
penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan
bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini, kandungan uap air udara lebih sedikit
atau udara mempunyai kelembapan nisbi yang rendah sehingga terjadi penguapan.
Kemampuan udara membawa uap air
bertambah besar jika perbedaaan antara kelembapan nisbi udara pengering dengan
udara sekitar bahan semakin besar. Salah satu factor yang mempercepat proses
pengeringan adalah kecepatan angin atau udara yang mengalir. Udara yang tidak
mengalir menyebabkan kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan
semakin jenuh sehingga pengeringan akan semakin lambat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengeringan ada dua, yaitu :
o
faktor yang berhubungan dengan udara pengeringan seperti
suhu, kecepatan aliran udara pengeringan dan kelembapan udara,
o
factor yang berhubungan dengan sifat bahan yang
dikeringkan berupa ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial dalam
bahan.
b)
Proses Pengeringan Mencegah kerusakan pada ikan
Seperti pada pengolahan komoditi lainnya yang
menggunakan panas, pengeringan juga menyebabkan perubahan sifat sifat pada ikan
yang dikeringkan, perubahan yang terjadi antara lain
o
Perubahan suhu badan
Bila suhu pengeringan rendah perubahan suhu bahan kecil sehingga di abaikan,
tetapi bila digunakan suhu tinggi perubahan suhu yang terjadi cukup untuk
mengubah sifat sifat bahan yang dikeringkan seperi pematangan, warna,
denaturasi protein, dan lain lain.
o
Pengkerutan
Ikan dengan kandungan air yang tinggi akan mengkerut bila dikeringkan pada
tekanan atmosfir karena keluarnya air dari dalam jaringan, oleh karena itu bila
pengkerutan tidak diinginkan pengeringan dilakukan pada tekanan rendah misalnya
Feeze Drying.
o
Kerusakan Gizi
Kerusakan gizi akibat pemanasan dan kerusakan yang disebabkan oleh reaksi yang
terjadi selama proses pengeringan.
Metode
pengeringan dengan udara panas merupakan cirri khas dari Pengeringan Kapasitas
udara untuk mengambil air dari bahan dan membuangnya ke luar tergantung pada
suhu dan kelembabannya (uap air yang sudah berada didalamnya).
c) Prosedur
Pengeringan
- Setelah selesai proses penggaraman, keluarkan ikan dari wadah penggaraman
- Cuci dan bersihkan ikan dari kotoran serta sisa-sisa garam yang menempel ditubuhnya.
- Masukkan ikan ketempat pengeringan pengeringan alami atau pengeringan mekanis
- Lama pengeringan dipengaruhi oleh jenis pengeringan yang digunakan serta ukuran
ikan yang dikeringkan
o Setelah kering, ikan disortir berdasarkan
kualitasnya dan dikemas dengan baik untuk
menghindari kerusakan selama penyimpanan
d) Mekanisme Pengeringan Ikan
Ketika udara panas dihembuskan pada bahan pangan
Khususnya disini ialah ikan yang basah panas dipindahkan dari udara ke
permukaan bahan dan panas laten penguapan menyebabkan air yang ada pada
permukaan bahan pangan tadi menguap. Uap air berdifusi melalui lapisan tipis
udara di sekeliling permukaan bahan dan terbawa bersama hembusan udara
yang mengenai bahan.
Penguapan air pada permukaan menyebabkan terjadinya
perbedaan tekanan uap air di permukaan dan didalam bahan, demikian juga
antara permukaan bahan dan udara sekeliling bahan. Perbedaan tekanan uap air
inilah yang menyebabkan adanya aliran air dari dalam bahan. Perbedaan tekanan
uap air inilah yang menyebabkan adanya aliran air dari dalam bahan pangan yang
dikeringkan ke permukaan, selanjutnya diuapkan ke udara. Pergerakan air dari
dalam bahan ke permukaan melalui mekanisme sebagai berikut :
- Pergerakan Cairan terjadi dalam saluran kapiler.
- cairan berdifusi karena perbedaan konsentrasi bahan bahan terlarut pada bagian bagian yang berbeda dari bahan pangan.
- Cairan juga berdifusi karena penyerapan oleh bagian padat dari bahan pangan yang terdapat pada permukaan.
- Air dalam bentuk uap juga berdifusi dalam ruang ruang udara di dalam bahan pangan akibat perbedaan tekanan uap air.
Selama
proses pengeringan ikan berlangsung ada waktu penyesuaian di mana panas
digunakan untuk meningkatkan suhu permukaan bahan, sama seperti untuk
memanaskan thermometer bola basah. Setelah terjadi proses pengeringan yang
berarti terjadi penguapan sehingga air dalam bahan bergerak ke permukaan untuk
menghentikan air yang telah menguap, dengan laju yang sama, sehingga permukaan
ikan yang dikeringkan selalu basah.
Selain itu juga tergantung pada jumlah bahan dan laju
pengeringan. Tiga factor pentig untuk menjaga pengeringan terjadi dengan laju
yang konstan :
o
Suhu
bola kering cukup tinggi namun tidak terlalu tinggi.
o
RH
rendah.
o
Aliran
udara cukup tinggi.
Jadi ketiga factor tersebut diatas sangat mempengaruhi pengeringan ; berikut
ini ialah kurva yang mmemperlihatkan laju pengeringan :
Gambar : Pengeringan
ikan dengan cara Penjemuran melalui panas matahari
e) Penyimpanan dan
Pengemasan
Produk ikan asin kering yang sudah jadi perlu
dijaga kualitasnya selama proses penyimpanan, transportasi dan distribusi
sehingga harga jual bisa tidak menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengepakan dan pengemasan yang baik supaya kualitasnya tidak menurun.
Pengemasan bisa dilakukan dengan menggunakan bahan kayu, kertas, kardus ataupun
plastik. Bahan-bahan yang digunakan selama proses pengemasan dan pengepakan
disesuaikan dengan keperluan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
tahap penyimpanan adalah :
1) Ruang penyimpan harus bersih, kering dan
sejuk
2) Sirkulasi udara lancar, sehingga
menghilangkan bau-bau yang tidak sedap
3) Ikan kering dibongkar dan dijemur kembali
bila terjadi kelembaban yang tinggi
4) Bahan lain yang dapat menjadi bahan pencemar
seperti pestisida, minyak tanah dan sebagainya, tidak disimpan didekat ikan
asin.
3.3 Penyimpanan ikan Teri Asin kering
Menggunakan Obat anti Bakteri (Chitosan)
chitosan merupakan produk turunan dari polimer
chitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan,
khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen dari
total berat udang.Kadar chitin dalam berat udang, katanya, berkisar
antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield
15-20 persen. Chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan
bedanya terletak pada gugus rantai C-2.
Proses utama dalam pembuatan chitosan,
meliputi penghilangan protein dan kendungan mineral melalui proses kimiawi yang
disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing
dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam.Selanjutnya, chitosan
diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam
larutan basa.Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan
berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut
dalam pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam
asetat.
chitosan sedikit mudah larut dalam air
dan mempunyai muatan positif yang kuat, yang dapat mengikat muatan negatif dari
senyawa lain, serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak
beracun.Diungkapkan oleh Linawati Hardjito bahwa Departemen THP FPKI-IPB telah
melakukan uji aplikasi chitosan pada beberapa produk ikan asin seperti,
jambal roti, teri dan cumi. Dalam uji-riset yang dilakukan, chitosan
pada berbagai konsentrasi dilarutkan dalam asam asetat, kemudian ikan asin yang
akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan.
Beberapa indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain pertama, pada ekeefktifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, dimana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan.
Beberapa indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain pertama, pada ekeefktifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, dimana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan.
Kedua, pada keunggulan dalam uji muu hedonik
penampakan dan rasa, dimana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan
coating chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin kontrol
(tanpa formalin dan chitosan) dan ikan asin dengan formalin.
"Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan," katanya.
"Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan," katanya.
Indikator ketiga, adalah pada keefektifan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri, dimana nilai TPC (bakteri) sampai pada minggi
kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI (Standar
Nasional Indonesia) ikan asin, yakni dibawah 1 x 10 pangkat lima (100 ribu
koloni per gram)."Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan
memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri dan kapang," katanya merujuk riset (Allan dan Hadwiger, 1979 dalam
El Grauth et al., 1991). Hal itulah yang
menyebabkan daya simpan ikan asin yang diberikan perlakuan chitosan bisa
bertahan sampai tiga bulan dibanding dengan ikan asin dengan penggaraman biasa
yang hanya bisa bertahan sampai dua bulan.
Sedangkan indikator terakhir atau keempat, yakni
pada kadar air, di mana perlakuan dengan pelapisan chitosan sampai
delapan minggu menunjukkan kemampuan chitosan dalam mengikat air, karena
sifat hidrofobik, sehingga dengan sifat ini akan menjadi daya tarik para
pengolah ikan asin dalam aspek ekonomis.
BAB IV
KESIMPULAN
Pengeringan adalah suatu proses pengawetan
yang telah lama dilakukan, pengeringan pada ikan biasanya dengan menguapkan air
dari tubuh ikan, yaitu dengan menggunakan hembusan udara panas.Ikan asin adalah
bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang diawetkan dengan menambahkan banyak garam. Dengan metode pengawetan
ini daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di
suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup
rapat.
Penggaraman adalah suatu rangkaian kegiatan
yang bertujuan untuk mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan
garam
Metode penggaraman dapat diklasifikasikan
menjadi 3 macam yaitu dry salting (penggaraman kering), wet salting
(penggaraman basah) dan kench salting (penggaraman kering tanpa wadah).
Metode pengeringan ada dua, yaitu :
o pengeringan secara alami dan
o pengeringan secara mekanis.
Pengeringan dilakukan setelah dilakukannya
proses penggaraman Proses secara keseluruhan dalam pembuatan ikan asin:
pencucian bahan mentah, penggaraman, pembilasan, penggeringan, pendinginan
(diangin-anginkan) dan diikuti pengepakan sesuai kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA
Ø Jay,James M.1992.Modern Food Microbiology.
Chapman&hall: London
Ø Sasi, M,dkk.2000. Chilling Fresh Fish in
Dry and Wet Ice. http:// biophyspal journal. Com (diakses 1 mei 2012)
Ø Desroirer,Norman W. 2008. Pengawetan dan
Pengolahan Bahan Pangan .Uip: Jakarta Sumber: Premy Puspitawati
Rahayu
LAMPIRAN 1
PENGARUH KONSENTRASI GARAM PADA PEDA IKAN KEMBUNG
(Rastrelliger sp.) DENGAN FERMENTASI SPONTAN
The influence of salt concentration on peda
chub mackerel (Rastrelliger sp.)
Desniar, Djoko Poernomo, Wini Wijatu
Departemen Teknologi Hasil Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Diterima 14 April 2009/ Disetujui 19 Juni 209
Abstract
Peda is one of fermented fish product without
further drying process, so it still classifiedas an intermediate moisture
food where the fermentation
process is still
exist. The objective
of research was to
know the influence
of salt concentration
on peda spontaneous
fermentation process. The treatment
was immersion on
salt concentrations (30%,
40% and 50%) with two salting phase. Parameters which observed
were pH, water activity (aw), total viable count (TVC), lactic acid bacteria
count (LAB) and salt content during 0,
6, and 14 days of fermentation.
The
changes
of raw material and its chemical
composition were also analyzed include moisture, ash,protein and lipid,
while total volatile basic (TVB)
and trimethylamine (TMA) were
observed at the end product a long with the sensory test. During the
fermentation process, the value of pH, aw, salt content and log TVC decreased, while the BAL total log increased. The proximate analyses showed that the
moisture and protein on raw material were 73.91% and 22.01% respectively which higher
with the product 52.71-53.94% for
moisture and 20.15-21.54% for protein, while ash and lipid raw material were
3,22% and 0,22% respectively which
lower from its product 1.25-1.37% for ash dan 15.96-16.90% for lipid. The
content of TVB (18.42-16.78mg/ 100 gr) and TMA (3.35- 2.23 mg/ 100 gr) of peda
were decrease while increasing the salt content (30-50%). The sensorytest
indicated no significant different
result in between all treatments. Therefore, the determination of selected
product was based on the result of sensory test eg. 30% salt.
Keywords: chub mackerel, fermenstation, peda,
Rastrelliger sp
PENDAHULUAN
Perkembangan
industri perikanan di
Indonesia mengalami peningkatan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat. Berdasarkan
data tahun 2004,
hasil perikanan tangkap
secara nasional sebesar 4.320.241 ton dengan indeks kenaikan rata-rata per
tahun sebesar 3,48%.
Dari total ini,
sebesar 1.117.965 ton
atau 25,87% digunakan untuk
keperluan industri pengolahan
ikan secara tradisional (Departemen Kelautan dan Perikanan
2006).Salah satu teknik
pengolahan ikan secara
tradisional adalah fermentasi.Peda adalah
salah satu produk
fermentasi yang tidak
dikeringkan lebih lanjut,melainkan dibiarkan setengah basah, sehingga proses fermentas
tetap berlangsung.
Umumnya proses fermentasi peda adalah
fermentasi secara spontan, dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba
dalam bentuk starter, tetapi mikroba
yang berperan aktif
dalam proses fermentasi
berkembang biak secara spontan karena
lingkungan hidupnya yang
dibuat sesuai untuk
pertumbuhannya.
Fermentasi ikan secara spontan umumnya menggunakan garam dengan konsentrasi tinggi untuk menyeleksi mikroba tertentu dan menghambat pertumbuhan mikroba
yang menyebabkan kebusukan
sehingga hanya mikroba tahan garam yang hidup. Pengolahan
dengan fermentasi memiliki beberapa keunggulan diantaranya proses pengolahannya sederhana,
mudah dan tidak
mahal, bahan baku
yang digunakan dapat berasal
dari berbagai jenis
ikan sehingga dapat
menggunakan hasil tangkapan yang
bernilai ekonomis rendah
atau ikan rucah.
Selain itu juga dapatmemanfaatkan limbah seperti jeroan ikan tuna atau cakalang yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan bekasang (Rahayu et al. 1992).
Produk fermentasi biasanya
mengandung nilai gizi
yang lebih tinggi dari
bahan asalnya. Selain itu
fermentasi dapat membantu
dalam mengawetkan makanan
dan juga memberikan sifat-sifat
tertentu yang dapat
menjadi daya tarik
bagi konsumen, unik serta dapat
meningkatkan nilai ekonomi (Hutkins 2006).Konsentrasi garam
yang digunakan dalam
fermentasi ikan peda
sangat menentukan mutu ikan
peda tersebut, disamping
kesegaran bahan bakunya. Karena pemberian
garam mempengaruhi jenis
mikroba yang berperan
dalam fermentasi. Ijong dan
Ohta (1996) menyatakan
bahwa garam merupakan
bahan bakteriostatik untuk beberapa
bakteri meliputi bakteri
patogen dan pembusuk.Tujuan penelitian
ini adalah untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi
garam terhadap proses fementasi
ikan kembung (Rastrelliger
sp.) menjadi peda
selama
14 hari dengan fermentasi secara spontan.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian
dilakukan pada bulan
Oktober – Desember
2006, dan bertempat di
Laboratorium Karakteristik Bahan
Baku Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan da IlmuKelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB), Laboratorium
Mikrobiologi FPIK IPB dan Laboratorium Biokimia FPIK IPB.
Bahan dan Alat
Bahan
baku yang digunakan
dalam penelitian ini
adalah ikan kembung (Rastrelliger sp.)
dan garam. Serta
bahan-bahan kimia diantaranya
Man Ragosa Sharp Agar
(MRSA), Nutrient Agar
(NA), pelarut heksana,
K2SO4, AgNO3, akuades, larutan NaCl, buffer fosfat, asam borat, formaldehid, NaOH dan lain-lain. Peralatan yang
digunakan dalam penelitian
ini antara lain timbangan,
wadah fermentasi, oven, timbangan,
desikator, cawan porselin, pemanas
kjeldahl, labu kjeldahl, destilator,
erlenmeyer, kertas saring,
pemanas listrik, alat
ekstraksi soxhlet, cawan conway,
cawan petri, inkubator, pH
meter, aw meter
dan alat-alat gelas lainnya.
Lingkup Penelitian
Pembuatan Peda (Modifikasi Santoso 1998) Pembuatan peda
dilakukan sebagai berikut:
pertama ikan dibersihkan, kemudian dicuci dan disimpan
dalam 3 wadah fermentasi. Masing-masing
wadah terdiri dari 2 kg ikan kembung dan
masing-masing diberi perlakuan
penambahan garam dengan konsentrasi 30%, 40% dan 50%. Pertama-tama dilakukan penggaraman I
dengan menggunakan garam
sebanyak 90% (%
b/b) dari total konsentrasi garam
pada masing-masing perlakuan
(misalnya konsentrasi garam 30% untuk 2 kg
ikan adalah 600 g berarti 90%
dari 600 g adalah 540 g
garam). Ikan dalam wadah disusun selapis demi selapis. Lapisan paling bawah
terdiri dari garam selanjutnya di
atasnya disusun ikan. Antara
lapisan ikan ditaburi
garam (135-200 gram pada
setiap lapisan). Ikan
disimpan selama 7
hari dalam wadah tertutup.
Hari
ke-7, ikan dalam
wadah diangkat. Seluruh garam
yang tersisa dari proses
penggaraman I pada
masing-masing konsentrasi ditimbang
kemudian dibuat larutan
garam 10% (misalnya untuk konsentrasi 30% sisa garam
sebanyak 78 g, garam ini kemudian dibuat larutan 10%). Larutan garam
digunakan untuk pecucian
ikan. Pencucian ikan dilakukan dalam kalo. Selanjutnya ikan
ditiriskan selama 24 jam pada suhu ruang. Hari ke-8 dilakukan proses
penggaraman II menggunakan garam sebanyak 10% (% b/b) dari total garam
pada masing-masing perlakuan.
Ikan disusun selapis
demi selapis seperti pada
penggaraman pertama dan setiap
lapisan ditaburi garam secukupnya (15-20 gram pada setiap lapisan). Selanjutnya ikan disimpan selama 6 hari dalam wadah tertutup.
Hari ke-14 ikan diangkat.
Seluruh sisa garam
dari proses penggaraman II ditimbang.
Kemudian garam dilarutkan dalam air untuk dilakukan proses perendaman.
Ikan direndam dalam
larutan garam 10% (%
b/v) (berat sisa garam
dari penggaram II)
selama 10 menit
untuk menghilangkan sisa garam
dan kotoran dalan tubuh ikan. Pada hari ke-14 sudah terbentuk peda.
Pengamatan dan Analisis
Pengamatan dilakukan terhadap bahan baku,
selama proses fermentasi dan produk akhir (ikan peda). Parameter yang diukur adalah pH, aktivitas air
(aw) dan kadar garam (Apriyantono
et al. 1989), total bakteri (TPC) dan total bakteri asam laktat (BAL)
(Fardiaz 1989)setiap 0,
6 dan 14
hari fermentasi. Parameter
yang diukur untuk bahan baku dan produk akhir (peda) meliputi kadar air,
abu, protein dan lemak (AOAC
1995).KadarTVB(TotalVolatil Base) dan TMA (trimetilamin) (BPPMHP
2001) serta uji
sensori (kenampakan, warna,
aroma, tekstur dan rasa) (Zakaria 1998)
hanya dilakukan untuk produk akhir (peda) saja. Data uji
sensori dianalisis dengan
statistik non parametrik
dengan metode uji Kruskal-Wallis dan apabila berbedanyata dilakukan uji lanjut Multiple Comparison (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis selama Proses Fermentasi
Analisis selama proses fermentasi ikan menjadi peda meliputi pH, aktivitas air (aw), TPC, total BAL dan kadar garam. Pengaruh
Konsentasi Garam Pada Peda pH
Histogram
hubungan konsentrasi garam
dan nilai pH
peda ikan kembung selama fermentasi
14 hari dapat
dilihat pada Gambar
1. Perlakuan konsentrasi garam secara umum
memiliki kecenderungan yang
sama, yaitu terjadi penurunan pH selama proses fermentasi
(0-14 hari). Peningkatan konsentrasi garam dari 30% sampai 50% menyebabkan penurunan pH
sedikit lebih besar yaitu 0,1; 0,13 dan 0,14
berturut-turut untuk
konsentrasi 30%, 40%
dan 50%. Penurunan
pH seiring dengan peningkatan
jumlah total bakteri asam laktat (Gambar
3B) dan penurunan kadar garam (Gambar
4). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fermentasi kecap ikan dimana
penurunan pH seiring dengan peningkatan jumlah bakteri asam laktat (Desniar et
al. 2007).
Penurunan
pH diduga karena
adanya sejumlah besar
asam laktat yang dihasilkan oleh
bakteri asam laktat
dalam metabolismenya sehingga
pH media menjadi asam dan
tidak sesuai untuk mikroorganisme lainnya (Frazier dan
Westhoff 1988 yang
diacu Kilinc et
al. 2006). Bakteri
asam laktat secara umum dapat
tumbuh pada pH 4-4,5; akan tetapi galur-galur tertentu toleran dan dapat tumbuh
pada pH 9 atau
rendah seperti 3,2
(Bamforth 2005). Menurut Ostergaard et
al. (1998) yang diacu
oleh Ndaw et al.
(2008) bahwa bakteri asam laktat merupakan mikroorganisme yang dominan dalam beberapa produk fermentasi ikan.
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Vol XII Nomor 1 Tahun 2009
LAMPIRAN 2
IKAN ASIN CARA PENGGARAMAN BASAH
Kantor Deputi Menegristek Bidang
Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H.
Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
TTG PENGOLAHAN PANGAN
ABSTRACT
Fish is a lot of food consumed by people other than as an export commodity. Fish experiencing rapid decay process compared with other food ingredients. Bacterial and chemical changes in the fish die cause decay. Quality of processed fish is highly dependent on the quality of raw materials.
ABSTRAK
Ikan merupakan bahan makanan yang banyak
dikonsumsi masyarakat selain sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan
bahan makanan lain.
Bakteri dan perubahan
kimiawi pada ikan mati
menyebabkan pembusukan. Mutu
olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan mentahnya.
PENDAHULUAN
Tanda ikan yang sudah busuk:
- mata suram dan tenggelam;
- sisik suram dan mudah lepas;
- warna kulit suram dengan
lendir tebal;
- insang berwarna kelabu dengan
lendir tebal;
- dinding perut lembek;
- warna keseluruhan suram dan
berbau busuk.
Tanda ikan yang masih segar:
- daging kenyal;
- mata jernih menonjol;
- sisik kuat dan mengkilat;
- sirip kuat;
- warna keseluruhan termasuk
kulit cemerlang;
- insang berwarna merah;
- dinding perut kuat;
- bau ikan segar.
Ikan
merupakan salah satu
sumber protein hewani
yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah
didapat, dan harganya
murah. Namun ikan
cepat mengalami proses pembusukan.
Oleh sebab itu
pengawetan ikan perlu diketahui semua
lapisan masyarakat. Pengawetan
ikan secara tradisional bertujuan untuk
mengurangi kadar air
dalam tubuh ikan,
sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk
berkembang biak. Untuk mendapatkan hasil
awetan yang bermutu
tinggi diperlukan perlakukan
yang baik selama proses pengawetan seperti : menjaga kebersihan bahan
dan alat yang digunakan, menggunakan
ikan yang masih
segar, serta garam
yang bersih. Ada bermacam-macam pengawetan
ikan, antara lain
dengan cara: penggaraman,
pengeringan, pemindangan, perasapan, peragian, dan
pendinginan ikan.
Manfaat makan ikan sudah banyak diketahui
orang, seperti di negara Jepang dan
Taiwanikan merupakan makanan
utama dalam lauk
sehari-hari yang memberikan efek
awet muda dan
harapan hidup lebih
tinggi dari negara lainnya. Penggolahan ikan dengan
berbagai cara dan rasa menyebabkan orang mengkonsumsi ikan lebih banyak. Ikan
asin adalah makanan awetan yang diolah dengan cara penggaraman dan pengeringan.
Ada 3 cara pembuatan :
1) Penggaraman kering dengan pengeringan;
2) Penggaraman basah (perebusan dalam air garam) dengan pengneringan;
3) Penggaraman yang dikombinasikan dengan
peragian (pembuatan ikan peda).
BAHAN DAN ALAT
1. Ikan segar 10 gram
2. Garam dapur 4 kg
3.Panci
4. Bak penggaraman
5.Tampah (nyiru)
CARA PEMBUATAN
1) Masukkan garam ke dalam 10 liter air;
2) Masukan ikan , kemudian rebus selama 5~10 menit atau rendam selama
3~4M jam, dan tutup dengan diberi pemberat;
3) Tiriskan sekitar 15 menit kemudian jemur sampai kering (3 hari);
4) Biarkan beberapa saat (angin-anginkan) kemudian kemas dalam kantong.
DIAGRAM ALIR PEMBUATAN IKAN ASIN CARA PENGGARAMAN BASAH
Catatan:
1) Ikan asin yang bermutu baik adalah jika memenuhi syarat
Standar Industri Indonesia (SII), yaitu :
a. Mempunyai bau, rasa, dan warna normal, serta bentuk yang baik;
b. Berkadar air paling tinggi 25 %
c. Berkadar garam (NaCl) antara 10 % ~ 20 %;
d. Tidak mengandung logam jamur, juga tidak terjadi pemerahan bakteri;
2) Ada beberapa cara untuk mempercepat pengeringan ikan asin :
a. Menjemur
ikan di atas
para-para setinggi
1 m dari
atas tanah, di halaman terbuka;
b. Menjemur ikan di dalam ruang pengering dari plastik (solar dryer);
c. Mengalir udara panas
ke permukaan ikan
dalam ruangan (mechanical dryer);
d. Mengatur cara penjemuran ikan, jangan sampai bertumbuk;
e. Membelah daging ikan;
f. Membuat sayatan pada daging
ikan.
3. Perbandingan komposisi ikan asin dan ikan teri kering per 100 gram
bahan
adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Komposisi Ikan Asin dan
Ikan Teri
KOMPONEN
|
IKAN ASIN (%)
|
IKAN TERI KERING (%)
|
Protein
|
42,00
|
33,40
|
Lemak
|
1,50
|
3,00
|
Fosfor
|
0,30
|
1,50
|
Besi
|
0,002
|
0,0036
|
Vitamin B1
|
0,01 mg
|
0,15
|
DAFTAR PUSTAKA
1) Pembuatan ikan asin. Jakarta
: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Hasil Pertanian, Departemen Perindustrian, 1982. Publikasi No.
4.
2) Daftar komposisi bahan makanan.
Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1979.
KONTAK HUBUNGAN
Pusat Informasi Wanita
dalam Pembangunan, PDII,
LIPI, Jl. Jend.
Gatot
Subroto 10 Jakarta 12910.
Jakarta, Maret 2000
Sumber : Tri
Margono, Detty Suryati,
Sri Hartinah, Buku
Panduan Teknologi
Pangan, Pusat Informasi
Wanita dalam Pembangunan
PDII-LIPI
bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, 1993.
Editor : Esti, Agus Sediadi.
LAMPIRAN 3
STUDI PENGGUNAAN KHITOSAN
SEBAGAI ANTI BAKTERI PADA IKAN TERI
(Stolephorus heterolobus)
ASIN KERING SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR
THE EFFECT OF CHITOSAN CONCENTRATION ON
QUALITY
OF DRIED-SALTED ANCHOVY (Stolephorus
heterolobus)
DURING ROOM TEMPERATURE STORAGE
Sri Sedjati 1), Tri Winarni Agustini1), Titi
Surti 1)
ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari penggunaan
khitosan pada proses pengawetan ikan teri (S. heterolobus) asin kering selama
penyimpanan suhu kamar. Tujuannya
adalah mengetahui konsentrasi khitosan
yang efektif untuk
proses pengolahannya. Metoda
penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok
(RAK) faktorial .
Faktor pertama adalah perlakuan konsentrasi khitosan (tiga
taraf :0,0%; 0,5%; 1,0%) dan faktor kedua adalah lama penyimpanan(lima taraf :
0; 2; 4; 6; 8 minggu). Variabel dependen yang diamati meliputi total
bakteri/TPC, kadar air dan aktifitas air). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi khitosan berpengaruh nyata(p<0,01) hanya
terhadap variabel dependen
total bakteri. Sedangkan
perlakuan lama penyimpanan
berpengaruh nyata ( p<0,01) terhadap variabel kadar air dan total bakteri.
Konsentrasi khitosan 0,5% merupakan
konsentrasi yang efektif untuk menurunkan total bakteri ikan teri asin
kering.
Kata-kata
kunci: Konsentrasi Khitosan,
Ikan Teri (S.
heterolobus.) Asin Kering,
ABSTRACT
This research studied
the application of
chitosan on dried-salted
anchovy S.heterolobus preservation during storage at room
temperature. The aim of study was toknow the effect ive
concentration of chitosan for its processing. The experimental designused was Randomized Complete Block with
two factors. The first
factor was chitosan concentration (three levels, i.e: 0,0%; 0,5%; 1,0%)
while the second factor was storage time (five levels, i.e: 0; 2; 4; 6; 8
weeks). Observation of dependent variables included total bacterial counts/TPC,
moisture content and water activity. The results of this study indicated that
chitosan concentration variable was significantly reduced the total bacterial
counts (p<0,01). During storage at
room temperature, storag time variable was significantly influencing the
moisture and total bacterial counts (p<0,01). The effective concentration of
chitosan for reducing total bacterial counts was 0,5%.
Key Words: Chitosan Concentration, Dried-salted Anchovy (S. heterolobus),
Storage Time
1) Staf Pengajar FPIK UNDIP
I. PENDAHULUAN
Sumber daya ikan teri banyakterdapat di
perairan Indonesia. Teri banyak ditangkap karena
mempunyai arti penting sebagai bahan makanan yang dapat dimanfaatkan baik sebagai
ikan segar maupun ikan
kering (Nontji, 1987).
Ikan teri berukuran kecil
dan sangat mudah rusak/membusuk. Itu sebabnya perlu cara untuk
mempertahankan daya awet
tanpa harus menghilangkan kenikmatan dan unsur
keamanannya. Salah satu
caranya adalah diasinkan. Cara pengawetan
dengan penggaraman yang diikuti dengan pengeringan adalah merupakan usaha yang paling mudah untuk
menyelamatkan ikan teri hasil
tangkapan nelayan. Penggunaan garam sebagai
bahan pengawet terutama ditekankan pada
kemampuannya untuk menghambat
pertumbuhan bakteri. Saat ini sering beredar berita tentang penggunaan
bahan-bahan kimia berbahaya pada industri penanganan dan pengolahan hasil perikanan di Indonesia, seperti formalin dan
insektisida. Menurut Balai POM
DKI Jakarta (2005),
penelitian di laboratorium menunjukkan hasil positif untuk sebagian besar produk ikan asin
dari
Teluk
Jakarta. Contoh ikan
asin yang perikanan, termasuk
proses pengolahan ikan
asin. Senyawa khitosan aman dan tidak berbahaya
bagi manusia. Khitosan merupakan produk
turunan dari polimer khitin. Bentuknya mirip dengan selulosa, hanya beda
pada gugus hidroksi C-2 khitin yang
digantikan dengan gugus
amino (NH2) (Roberts, 1992).Di Indonesia, penelitian
aplikasi khitosan sudah diujicobakan
pada proses pengolahan ikan
cucut asin di
Muara Angke. Menurut hasil penelitian
penggunaan khitosan dengan
konsentrasi1,5% pada ikan
cucut asin kering
dapat memperpanjang daya awetnya.
Pada suhu kamar, ikan cucut
asin yang diawetkan
dengan formalin bertahan
3 bulan 2 minggu, dengan perlakuan khitosan dapat bertahan
sampai 3 bulan, sedangkan tanpa khitosan hanya dapat bertahan 2 bulan saja (Suseno
2006).
Penelitian
ini dilakukan untuk mencoba mengaplikasikan khitosan
pada produk ikan teri
asin kering. Tujuannya adalah mencari
konsentrasi larutan khitosan yang
tepat untuk membentuk
lapisan (edible coating),
pada produk tersebut sehingga dapat
mengurangi kerusakan
mikrobiologis akibat bakteri selama penyimpanan suhu kamar. mengandung
formalin di antaranya adalah teri asin kering (2,88 ppm). Penggunaan khitosan dapat diaplikasikan pada
pengolahan hasil
II. MATERI
DAN METODE
Penelitian ini menggunakan
metodeMeksperimental
laboratoris dengan obyek penelitian pengolahan ikan teri
(asin kering). Ikan teri yang
diolah adalah jenis Stolephorus
heterolobus (Saanin, 1984). Ikan
teri asin kering
diolah dengan carapenggaraman basah, yaitu dengan perendaman dalam
larutan garam 10% selama
3 jam. Penjemuran dilakukan selama 2 hari dengan sinar matahari dan ditutup dengan
kasa plastik. Pencelupan dalam larutan
khitosan(dengan pelarut asam asetat 1%) dilakukan
setelah penjemuran selama
1 hari (
setengah kering) dan kemudian dijemur sehari lagi hingga kering. Ikan teri
asin keringdikemas dalam plastikbening,PE/Polyethylene (ketebalan
0,025 mm) dan disimpan dalam suhu
kamar selama 8 minggu. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi
variabel independen(perlakuan), yaitu konsentrasi khitosan dalam asam asetat 1% dan
lama penyimpanan. Variabel dependen meliputi analisa total bakteri / TPC, kadar
air dan aktifitas air. Percobaan faktorial ini memakai
desain Rancangan Acak
Blok (RAB) dengan 2
kali ulangan (sebagai
blok).
Faktor
A (konsentrasi larutan
khitosan) terdiri dari tiga
taraf, yaitu :
0%, 0,5%,1,0%. Faktor
B (lama penyimpanan
) terdiri dari lima taraf, yaitu: 0, 2, 4, 6 dan 8,minggu. Untuk melihat
gambaran mengenai aktifitas
khitosan sebagai anti bakteri pada ikan teri asin kering yang
diolah sesuai perlakuan,
dilakukan analisa ANOVA dua jalur
dengan SPSS (Santosa,
2004 ;Ghozali, 2005) terhadap variabel-variabel yang diamati.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemampuan khitosan sebagai bahan pengawet
dipengaruhi oleh mutu khitosan itu
sendiri. Dalam dunia
perdagangan internasional
sudah ada standar
mutu khitosan yang telah disepakati.
Khitosan yang dipakai dalam
penelitian ini mempunyai karakteristik mutu
seperti tertera pada Tabel 1 dan telah memenuhi standar perdagangan
internasional.Kemurnian khitosan dapat
dilihat dari kadar air dan kadar abu yang rendah, namun memiliki
derajat deasetilasi yang tinggi.
Semakin tinggi derajat deasetilasi, semakin banyak gugus amino (NH2)
padarantai molekul khitosan sehingga khitosansemakin reaktif. Keunikan bahan pengawet khitosan
ini adalah karena mempunyai gugus amino tersebut. Pelapisdari polisakarida ini
merupakanpenghalang
(barrier) yang baik,
sebab pelapis jenis ini
bisa membentuk matrik Sri Sedjati, Tri Winarni Agustini,
Titi Surti, Studi Penggunaan Khitosan … 56
yang
kuat dan kompak
yang berfungsisebagai pelindung. Khitosan mudah larut dalam asam organik dan
memiliki muatan negatif dari senyawa
lain, termasuk yang terdapat di
dalam membran bakteri (Suseno,2006).
Tabel
1. Karakteristik Khitosan Bahan
Penelitian dan Standar Internasional
Parameter
|
Karakteristik Khitosan
|
|
Bahan Penelitian*
|
Standar Internasional**
|
|
- Ukuran partikel
- Kadar air
- Kadar abu
- Kadar protein
- Derajat deasetilasi
- Bau
- Warna larutan
- Viscositas
|
Butiran/bubuk < 2 mm
7,54%
0,75%
-
75,42%
Tidak berbau
Jernih (agak putih)
300 cp
|
Butiran/bubuk < 2 mm
< 10 %
< 2%
-
Minimal 70 %
Tidak berbau
Jernih
200 – 799 cps
|
Sumber : *Suseno (2006)
**Protan dalam
Bastaman (1989)
Hasil pengamatan mengenai
analisa total bakteri / TPC, kadar air dan
aktifitas air ikan
teri asin kering
dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2.
Nilai TPC, Kadar Air dan Aktifitas Air Sampel Ikan Teri Asin Kering
Sampel
|
TPC (koloni/g)
|
Kadar Air (% bb)
|
Aktifitas Air
|
A1B1
|
ab
250±0
|
16,74±2,74a
|
0,634 ± 0,004a
|
A2B1
|
de
105±21
|
17,76±2,81a
|
0,635 ± 0,004a
|
A3B1
|
cd
135±21
|
17,02±2,93a
|
0,625 ± 0,015a
|
A1B2
|
de
90±0
|
18,39±4,09a
|
0,634 ± 0,025a
|
A2B2
|
e
25±7
|
18,56±3,71a
|
0,647 ± 0,003a
|
A3B2
|
de
45±7
|
18,68±3,59a
|
0,649 ± 0,002a
|
A1B3
|
de
75±7
|
19,39±2,60a
|
0,637 ± 0,016a
|
A2B3
|
de
45±21
|
20,36±2,72a
|
0,638 ± 0,013a
|
A3B3
|
de
55±21
|
19,96±2,31a
|
0,639 ± 0,009 a
|
A1B4
|
bcd
145±35
|
19,01±1,20a
|
0,639 ± 0,008a
|
A2B4
|
de
105±21
|
19,56±0,69a
|
0,643 ± 0,021a
|
A3B4
|
de
70±0
|
19,73±1,77a
|
0,647 ± 0,023a
|
A1B5
|
a
330±28
|
19,91±2,89a
|
0,642 ± 0,021a
|
A2B5
|
bc
160±42
|
19,66±3,47a
|
0,635 ± 0,006a
|
A3B5
|
bc
155±35
|
20,09±3,54a
|
0,644 ± 0,008a
|
Ket.:Data merupakan rata-rata dari 2 ulangan Angka
yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
A=konsentrasi larutan khitosan (1=0,0%; 2=0,5%; 3=1,0%)
B=lama penyimpanan (1=0 minggu; 2=2 minggu; 3= 4 minggu; 4= 6 minggu; 5=
8 minggu
Perubahan total bakteri (TPC), kadar air dan
aktifitas air selama masake-8 secara lebih jelas dapat dilihat
pada Gambar 1, 3 dan 4.
350 0,5% khitosan
1,0%
khitosan
250
200
Gambar 1.
Grafik PC (koloni/g) Ikan Teri Asin Kering
Tidak ada komentar:
Posting Komentar